Menthol-Flavored Kisses
Jul. 28th, 2015 09:46 am![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
Based on: Winterblossom Entertainment Roleplay
Characters: Kim Eunhee, Park Jiho.

I was really, really, fucking love you.
DIANTARA tumpukan buku-buku dan bimbingan tes dan angin malam yang menggigit, jalanan Daegu yang penuh dengan orang lalu-lalang tanpa memperhatikan sekitarnya, dalam pandangan mata Eunhee, dia seperti tidak nyata.
Lelaki itu, seandainya tidak memakai seragam sekolah, tentu akan terlihat seperti pria yang sudah berusia 20-an. Tubuhnya tinggi langsing, dengan rambut yang sedikit lebih panjang daripada yang dibolehkan peraturan sekolah, menutupi manik matanya yang sewarna legam. Earphone bertengger di telinganya, tersambung pada music player yang diletakkan begitu saja di samping tubuhnya. Membuat kakinya yang panjang mengetuk-ngetuk tanah dengan irama tertentu. Menggoyang-goyangkan rokok yang sudah tinggal setengahnya, meninggalkan serpihan abu putih di dekat sepatunya.
Pintu terbuka, membawa angin dingin masuk, namun seakan-akan mengundang Eunhee untuk keluar. Lelaki itu mengangkat kepalanya yang sedari tadi setengah tertunduk, menyingkirkan poni yang menutupi wajahnya. Rokoknya sudah mulai memendek. Pandangan mata mereka bertemu, dan Eunhee tercekat.
“Kau juga bolos?”
Itu pertama kalinya Eunhee bertemu dengan sosok Park Ji Ho.
***
EUNHEE tak pernah suka keadaan rumahnya akhir-akhir ini. Ayahnya sibuk, sibuk, dan sibuk–bukan sesuatu yang baru, sebetulnya, dan bukan juga sesuatu yang membuat Eunhee kesal karena toh itu sudah biasa–tapi yang membuat Eunhee kesal adalah bagaimana Ayahnya merasa ia memiliki bola kristal. Merasa, karena Ayahnya selalu sok tahu tentang apa saja. Tentang nilai-nilainya, tentang pergaulannya, tentang apa yang dia inginkan untuk masa depan–tentang apa yang harus ia lakukan untuk masa depan.
Eunhee tahu Ayahnya hanyalah seorang pegawai biasa, yang diam-diam memendam impian untuk menjadi pengusaha, namun merasa tubuhnya sudah terlalu tua. Hidup sebagai pegawai menengah biasa yang hanya mendapatkan sedikit kenaikan gaji setiap tahun memang sulit, dan hidup juga memang keras sehingga membuat Ayahnya harus bertahan dari gempuran junior muda yang berpendidikan lebih tinggi serta atasan yang terus menuntut omzet, tapi bukan berarti Ayahnya harus melimpahkan cita-cita masa lalu itu padanya, kan?
Kalau ingin lakukan, lakukanlah sendiri, tak usah berharap anaknya akan masuk jurusan manajemen bisnis di Hanyang. Dan menggelontorkan biaya besar untuk membayar segala sekolah persiapan ini. Sudah cukup sekolah selesai sampai malam setiap hari, masih juga ditambah dengan belajar lagi setelahnya–untuk hal yang sama sekali tidak Eunhee sukai, bahkan membayangkannya pun tidak.
Memang apanya yang menarik dari mempelajari grafik-grafik dan prediksi harga saham? Apa yang akan dia dapatkan? Orangtuanya mungkin bisa sedikit berbangga hati pada tetangga, lalu adiknya akan diminta mengikuti jejaknya, dan dia tak akan mendapat apa-apa.
Oh, mungkin dia akan dapat gaji yang sedikit lebih besar daripada gaji Ayahnya sekarang. Mungkin.
Tapi tetap saja dia laksanakan keharusan itu, meskipun hatinya tetap mendongkol–dan berharap jam-jam yang habis untuk belajar itu dapat ia habiskan untuk hal lain, seperti bertemu dengan teman-temannya di klub vokal–yang tak boleh lagi ia ikuti.
atau bertemu dengan yang lainnya.
***
“KAU bolos lagi,” begitu katanya ketika mereka bertemu untuk kedua kalinya. “Kau anak kelas mana?”
“Kelas B,” Eunhee menjawab sekenanya, tangannya menggenggam erat kertas bimbingan tes yang baru saja dia terima. “Baru saja ada soal baru yang harus dikerjakan untuk tiga puluh menit ke depan.”
Ji Ho mengangkat bahu. “Lalu kau mau kerjakan?”
“Kau juga tidak masuk,” Eunhee berjalan keluar, mengamati lelaki itu yang asyik membuka bungkus rokoknya yang masih baru di atas tempat duduknya–tembok pendek memanjang yang di sisi sebelahnya tumbuh semak-semak pendek. “Jadi kau tak berhak menyuruhku mengerjakan juga.”
“Lalu,” Ji Ho tersenyum kecil, membuat Eunhee menggigit bibirnya tanpa sadar, “apa yang membuatmu kemari? Sini, duduk.”
Tangannya melambai, memberi tanda mendekat, dan Eunhee mengambil tempat di sebelahnya.
Mereka berdua duduk di tembok pendek itu, melewatkan jam-jam yang seharusnya digunakan untuk berkutat dengan hal-hal seperti trigonometri dan vektor dan penamaan senyawa kimia dengan berbagi earphone dan mengetuk-ngetukkan kaki mereka ke atas tanah. Lalu berbicara banyak hal, apa saja–mulai dari sekolah mereka yang berbeda hingga apa yang mereka makan setiap pagi. Dan bagi Eunhee, ketika berbicara dengannya, segala terasa sangat cepat berlalu.
Pertemuan berlanjut di koridor-koridor ketika mereka berpapasan, sudut mati di ujung sebuah lorong, dan saat jam pulang tiba, mereka kembali bertemu di lapangan parkir sepeda, Eunhee berjalan sambil menuntun sepeda, atau ia duduk di boncengan dan membiarkan Ji Ho memacu sepedanya menembus malam, sambil bersenandung bait-bait dari album-album awal The Smashing Pumpkins.
Asap rokok yang berhembus dari sana terasa begitu bebas, begitu melegakan–meskipun Eunhee tak tahu pasti, karena setahunya rokok akan membuat paru-parunya rusak dan sesak, tapi di matanya, Ji Ho tak terlihat seperti itu. Ia terlihat begitu lepas, begitu lega dan bebas.
Begitu bahagia.
***
“ADA laporan bahwa kau tiga kali tidak ikut pelajaran.”
Eunhee tidak berbalik sekalipun ia merasakan tatapan tajam Ayahnya yang terasa menembus tubuhnya, seperti ratusan jarum menghujam punggung. Dan ia juga tak berniat untuk menjawab. Dan untungnya, Ayahnya tidak merasa membutuhkan jawaban.
“Ayah sudah bayar mahal untuk biaya sekolah persiapanmu,” matanya sama sekali tak berkedip dari balik lensa kacamata plus yang dipakainya, “jangan kau sia-siakan. Kau harus lebih berhasil dari Ayah. Ayah berharap banyak padamu.”
Pandangan Eunhee melayang ke arah dapur, dimana Ibunya sedang memasak bersama Eunmi. Pandangan mata Ibunya memberinya tanda untuk diam dan tak membantah kata-kata Ayahnya, namun hal itu malah membuat keinginan Eunhee untuk menjawab muncul.
“Aku ingin berhasil, tapi bukan di hal yang Ayah harapkan.” tubuhnya masih tidak berbalik, tapi entah mengapa ia dapat merasakan perubahan dari ekspresi wajah Ayahnya; namun itu tak menyurutkan keinginannya untuk melanjutkan. “Aku punya minat sendiri.”
“Maksudmu klub vokal yang sering kau ikuti itu? Kalau sebagai hobi, Ayah selalu bolehkan…” dari balik bahu Eunhee, terdengar suara lembaran koran yang dibalik. “Tapi apa yang dapat kau lakukan dari menyanyi-nyanyi seperti itu? Minat tak bisa membawamu menuju kehidupan yang baik.”
Eunhee meletakkan botol susu yang sedari tadi ia pegang dengan suara duk keras, membuat taplak mejanya sedikit bergeser.
“Dua puluh tahun lagi,” Ayahnya berkata dari balik lembaran koran, “kau akan berterima kasih pada Ayah.”
***
BERSENANDUNG, bagi Eunhee, menjadi salah satu cara untuk melepaskan stres. Ia belajar banyak lagu dari klub vokal yang ia ikuti selama tiga tahun sejak SMP, dan ia tampil di beberapa kejuaraan daerah. Memang ia tak begitu sering mendapat solo, sih–karena suaranya tidak se-spektakuler yang diharapkan para pembina, mungkin–tapi ia selalu dipercaya menjadi lead vocal untuk grup, dan ia menikmatinya.
Ada rasa yang menyenangkan ketika kau berdiri di atas panggung; menghadapi penonton, terpacu adrenalin dan merasakan darah naik ke ubun-ubun, lalu menyanyikan lirik dan nada yang kau pelajari selama berminggu-minggu. Eunhee suka ketika ia mendapatkan partitur baru dan mempelajarinya, bagaimana menyanyikannya dengan benar, bagaimana caranya bernyanyi dengan mengeluarkan caranya sendiri.
“Aku suka suaramu,” kata Ji Ho suatu hari, ketika mereka duduk di tembok itu, dan kebetulan baterai music player-nya habis sehingga Eunhee memutuskan untuk bernyanyi-nyanyi kecil, mengisi kekosongan. “Kau harus menyanyi lagi. Lebih keras, jangan bersenandung begitu.”
Seketika itu juga nyanyian Eunhee berhenti, merasakan adrenalinnya terpacu lagi, darahnya naik ke ubun-ubun lagi, tapi untuk hal yang berbeda.
Wajahnya bersemu merah, dan ada perasaan bahagia yang aneh.
***
DUA puluh tahun lagi kau akan berterima kasih pada Ayah.
Dua puluh tahun lagi? Tahi kucing.
***
“MENYANYILAH lagi,” lelaki itu berkata, ketika suatu malam mereka berdua berbaring di atas rumput di pinggir bantaran sungai, menatap langit malam di atas kepala mereka. “Nina bobo atau apalah. Susah sekali untuk tidur akhir-akhir ini.”
“Nina bobo,” Eunhee berdehem, membetulkan tubuhnya hingga kembali duduk. “Here we are and I can’t think from all the pills right, Start the car and take me home…“
“Apaan itu?” kening Ji Ho berkerut, lalu tertawa, “liriknya bandel amat. Kau mau menggodaku, ya?”
Eunhee ikut tertawa–lebih karena ia menyukai bagaimana tawa Ji Ho membentuk senyuman di garis-garis keras wajahnya. “Kau pikir begitu? Terserahlah. Tapi itu ‘kan salah satu lagu kesukaanmu.” Eunhee mengambil jeda sebentar, “eh, benar, kan?”
“Hmmm, benar juga.”
Asap rokok susul-menyusul di udara, bersanding dengan udara Daegu yang sedikit berkabut. Mild Seven Aqua Menthol, itu tulisan yang tertera di bungkusnya–adalah merk rokok Jepang. Eunhee jarang melihat Ji Ho tanpa rokok di tangan atau bungkus rokok yang menyembul dari sakunya. kelihatannya rokok itu menjadi sumbernya untuk dapat tertawa. Untuk dapat merasa bebas.
Hal yang selalu membuat Eunhee penasaran.
“Mengapa kau merokok? Itu ‘kan tidak baik untuk kesehatan. Aku tak mengerti dimana enaknya.” Eunhee menimang-nimang bungkus rokok di tangannya, melemparnya ke udara lalu menangkapnya lagi, dan pada lemparannya yang ketiga, Ji Ho ikut bangkit duduk dan mengambilnya dari tangan Eunhee.
“Kalau kau tak mengerti, coba saja sendiri.” Ji Ho menghembuskan asap rokok panjang yang langsung menghilang disapu angin. “Masalahnya, sampai saat ini juga aku tidak menemukan dimana enaknya, jadi ya, aku merokok terus.” Ia terkekeh, lalu menyalakan lagi rokoknya, aroma tipis menthol memenuhi penciuman.
“Oppa,” Eunhee berkata pelan, nyaris berbisik. “Seharusnya kau–”
Eunhee merasakan sentuhan lembut di pipinya, membuat Eunhee lupa apa lanjutan kalimatnya, namun itu tak masalah, karena Ji Ho mencium keningnya, membuat matanya tak berkedip barang sekejap pun, dan membuat Ji Ho tertawa kecil melihat ekspresinya.
“Kau harus panggil aku dengan panggilan itu lebih sering.” Ji Ho berbisik di telinganya, dan yang Eunhee rasakan berikutnya adalah aroma halus dari menthol dan tawa kecil Ji Ho di antara ciuman di bibirnya.
Malam itu, dunia tak berbatas dan terasa begitu luar biasa.
***
I am strong, love is evil
It’s a version of perversion that is only for the lucky people
Take your time and do with me what you will
I won’t mind, you know I’m ill, you know I’m ill
So hit me like a man and love me like a woman
Buried and sad, look me in the eyes, I want it
One will give you hell, one will give you heaven
Hit me like a man, love me like a woman
Love me like a woman
(Hit me Like a Man, the Pretty Reckless)
***end***
Characters: Kim Eunhee, Park Jiho.

I was really, really, fucking love you.
DIANTARA tumpukan buku-buku dan bimbingan tes dan angin malam yang menggigit, jalanan Daegu yang penuh dengan orang lalu-lalang tanpa memperhatikan sekitarnya, dalam pandangan mata Eunhee, dia seperti tidak nyata.
Lelaki itu, seandainya tidak memakai seragam sekolah, tentu akan terlihat seperti pria yang sudah berusia 20-an. Tubuhnya tinggi langsing, dengan rambut yang sedikit lebih panjang daripada yang dibolehkan peraturan sekolah, menutupi manik matanya yang sewarna legam. Earphone bertengger di telinganya, tersambung pada music player yang diletakkan begitu saja di samping tubuhnya. Membuat kakinya yang panjang mengetuk-ngetuk tanah dengan irama tertentu. Menggoyang-goyangkan rokok yang sudah tinggal setengahnya, meninggalkan serpihan abu putih di dekat sepatunya.
Pintu terbuka, membawa angin dingin masuk, namun seakan-akan mengundang Eunhee untuk keluar. Lelaki itu mengangkat kepalanya yang sedari tadi setengah tertunduk, menyingkirkan poni yang menutupi wajahnya. Rokoknya sudah mulai memendek. Pandangan mata mereka bertemu, dan Eunhee tercekat.
“Kau juga bolos?”
Itu pertama kalinya Eunhee bertemu dengan sosok Park Ji Ho.
***
EUNHEE tak pernah suka keadaan rumahnya akhir-akhir ini. Ayahnya sibuk, sibuk, dan sibuk–bukan sesuatu yang baru, sebetulnya, dan bukan juga sesuatu yang membuat Eunhee kesal karena toh itu sudah biasa–tapi yang membuat Eunhee kesal adalah bagaimana Ayahnya merasa ia memiliki bola kristal. Merasa, karena Ayahnya selalu sok tahu tentang apa saja. Tentang nilai-nilainya, tentang pergaulannya, tentang apa yang dia inginkan untuk masa depan–tentang apa yang harus ia lakukan untuk masa depan.
Eunhee tahu Ayahnya hanyalah seorang pegawai biasa, yang diam-diam memendam impian untuk menjadi pengusaha, namun merasa tubuhnya sudah terlalu tua. Hidup sebagai pegawai menengah biasa yang hanya mendapatkan sedikit kenaikan gaji setiap tahun memang sulit, dan hidup juga memang keras sehingga membuat Ayahnya harus bertahan dari gempuran junior muda yang berpendidikan lebih tinggi serta atasan yang terus menuntut omzet, tapi bukan berarti Ayahnya harus melimpahkan cita-cita masa lalu itu padanya, kan?
Kalau ingin lakukan, lakukanlah sendiri, tak usah berharap anaknya akan masuk jurusan manajemen bisnis di Hanyang. Dan menggelontorkan biaya besar untuk membayar segala sekolah persiapan ini. Sudah cukup sekolah selesai sampai malam setiap hari, masih juga ditambah dengan belajar lagi setelahnya–untuk hal yang sama sekali tidak Eunhee sukai, bahkan membayangkannya pun tidak.
Memang apanya yang menarik dari mempelajari grafik-grafik dan prediksi harga saham? Apa yang akan dia dapatkan? Orangtuanya mungkin bisa sedikit berbangga hati pada tetangga, lalu adiknya akan diminta mengikuti jejaknya, dan dia tak akan mendapat apa-apa.
Oh, mungkin dia akan dapat gaji yang sedikit lebih besar daripada gaji Ayahnya sekarang. Mungkin.
Tapi tetap saja dia laksanakan keharusan itu, meskipun hatinya tetap mendongkol–dan berharap jam-jam yang habis untuk belajar itu dapat ia habiskan untuk hal lain, seperti bertemu dengan teman-temannya di klub vokal–yang tak boleh lagi ia ikuti.
atau bertemu dengan yang lainnya.
***
“KAU bolos lagi,” begitu katanya ketika mereka bertemu untuk kedua kalinya. “Kau anak kelas mana?”
“Kelas B,” Eunhee menjawab sekenanya, tangannya menggenggam erat kertas bimbingan tes yang baru saja dia terima. “Baru saja ada soal baru yang harus dikerjakan untuk tiga puluh menit ke depan.”
Ji Ho mengangkat bahu. “Lalu kau mau kerjakan?”
“Kau juga tidak masuk,” Eunhee berjalan keluar, mengamati lelaki itu yang asyik membuka bungkus rokoknya yang masih baru di atas tempat duduknya–tembok pendek memanjang yang di sisi sebelahnya tumbuh semak-semak pendek. “Jadi kau tak berhak menyuruhku mengerjakan juga.”
“Lalu,” Ji Ho tersenyum kecil, membuat Eunhee menggigit bibirnya tanpa sadar, “apa yang membuatmu kemari? Sini, duduk.”
Tangannya melambai, memberi tanda mendekat, dan Eunhee mengambil tempat di sebelahnya.
Mereka berdua duduk di tembok pendek itu, melewatkan jam-jam yang seharusnya digunakan untuk berkutat dengan hal-hal seperti trigonometri dan vektor dan penamaan senyawa kimia dengan berbagi earphone dan mengetuk-ngetukkan kaki mereka ke atas tanah. Lalu berbicara banyak hal, apa saja–mulai dari sekolah mereka yang berbeda hingga apa yang mereka makan setiap pagi. Dan bagi Eunhee, ketika berbicara dengannya, segala terasa sangat cepat berlalu.
Pertemuan berlanjut di koridor-koridor ketika mereka berpapasan, sudut mati di ujung sebuah lorong, dan saat jam pulang tiba, mereka kembali bertemu di lapangan parkir sepeda, Eunhee berjalan sambil menuntun sepeda, atau ia duduk di boncengan dan membiarkan Ji Ho memacu sepedanya menembus malam, sambil bersenandung bait-bait dari album-album awal The Smashing Pumpkins.
Asap rokok yang berhembus dari sana terasa begitu bebas, begitu melegakan–meskipun Eunhee tak tahu pasti, karena setahunya rokok akan membuat paru-parunya rusak dan sesak, tapi di matanya, Ji Ho tak terlihat seperti itu. Ia terlihat begitu lepas, begitu lega dan bebas.
Begitu bahagia.
***
“ADA laporan bahwa kau tiga kali tidak ikut pelajaran.”
Eunhee tidak berbalik sekalipun ia merasakan tatapan tajam Ayahnya yang terasa menembus tubuhnya, seperti ratusan jarum menghujam punggung. Dan ia juga tak berniat untuk menjawab. Dan untungnya, Ayahnya tidak merasa membutuhkan jawaban.
“Ayah sudah bayar mahal untuk biaya sekolah persiapanmu,” matanya sama sekali tak berkedip dari balik lensa kacamata plus yang dipakainya, “jangan kau sia-siakan. Kau harus lebih berhasil dari Ayah. Ayah berharap banyak padamu.”
Pandangan Eunhee melayang ke arah dapur, dimana Ibunya sedang memasak bersama Eunmi. Pandangan mata Ibunya memberinya tanda untuk diam dan tak membantah kata-kata Ayahnya, namun hal itu malah membuat keinginan Eunhee untuk menjawab muncul.
“Aku ingin berhasil, tapi bukan di hal yang Ayah harapkan.” tubuhnya masih tidak berbalik, tapi entah mengapa ia dapat merasakan perubahan dari ekspresi wajah Ayahnya; namun itu tak menyurutkan keinginannya untuk melanjutkan. “Aku punya minat sendiri.”
“Maksudmu klub vokal yang sering kau ikuti itu? Kalau sebagai hobi, Ayah selalu bolehkan…” dari balik bahu Eunhee, terdengar suara lembaran koran yang dibalik. “Tapi apa yang dapat kau lakukan dari menyanyi-nyanyi seperti itu? Minat tak bisa membawamu menuju kehidupan yang baik.”
Eunhee meletakkan botol susu yang sedari tadi ia pegang dengan suara duk keras, membuat taplak mejanya sedikit bergeser.
“Dua puluh tahun lagi,” Ayahnya berkata dari balik lembaran koran, “kau akan berterima kasih pada Ayah.”
***
BERSENANDUNG, bagi Eunhee, menjadi salah satu cara untuk melepaskan stres. Ia belajar banyak lagu dari klub vokal yang ia ikuti selama tiga tahun sejak SMP, dan ia tampil di beberapa kejuaraan daerah. Memang ia tak begitu sering mendapat solo, sih–karena suaranya tidak se-spektakuler yang diharapkan para pembina, mungkin–tapi ia selalu dipercaya menjadi lead vocal untuk grup, dan ia menikmatinya.
Ada rasa yang menyenangkan ketika kau berdiri di atas panggung; menghadapi penonton, terpacu adrenalin dan merasakan darah naik ke ubun-ubun, lalu menyanyikan lirik dan nada yang kau pelajari selama berminggu-minggu. Eunhee suka ketika ia mendapatkan partitur baru dan mempelajarinya, bagaimana menyanyikannya dengan benar, bagaimana caranya bernyanyi dengan mengeluarkan caranya sendiri.
“Aku suka suaramu,” kata Ji Ho suatu hari, ketika mereka duduk di tembok itu, dan kebetulan baterai music player-nya habis sehingga Eunhee memutuskan untuk bernyanyi-nyanyi kecil, mengisi kekosongan. “Kau harus menyanyi lagi. Lebih keras, jangan bersenandung begitu.”
Seketika itu juga nyanyian Eunhee berhenti, merasakan adrenalinnya terpacu lagi, darahnya naik ke ubun-ubun lagi, tapi untuk hal yang berbeda.
Wajahnya bersemu merah, dan ada perasaan bahagia yang aneh.
***
DUA puluh tahun lagi kau akan berterima kasih pada Ayah.
Dua puluh tahun lagi? Tahi kucing.
***
“MENYANYILAH lagi,” lelaki itu berkata, ketika suatu malam mereka berdua berbaring di atas rumput di pinggir bantaran sungai, menatap langit malam di atas kepala mereka. “Nina bobo atau apalah. Susah sekali untuk tidur akhir-akhir ini.”
“Nina bobo,” Eunhee berdehem, membetulkan tubuhnya hingga kembali duduk. “Here we are and I can’t think from all the pills right, Start the car and take me home…“
“Apaan itu?” kening Ji Ho berkerut, lalu tertawa, “liriknya bandel amat. Kau mau menggodaku, ya?”
Eunhee ikut tertawa–lebih karena ia menyukai bagaimana tawa Ji Ho membentuk senyuman di garis-garis keras wajahnya. “Kau pikir begitu? Terserahlah. Tapi itu ‘kan salah satu lagu kesukaanmu.” Eunhee mengambil jeda sebentar, “eh, benar, kan?”
“Hmmm, benar juga.”
Asap rokok susul-menyusul di udara, bersanding dengan udara Daegu yang sedikit berkabut. Mild Seven Aqua Menthol, itu tulisan yang tertera di bungkusnya–adalah merk rokok Jepang. Eunhee jarang melihat Ji Ho tanpa rokok di tangan atau bungkus rokok yang menyembul dari sakunya. kelihatannya rokok itu menjadi sumbernya untuk dapat tertawa. Untuk dapat merasa bebas.
Hal yang selalu membuat Eunhee penasaran.
“Mengapa kau merokok? Itu ‘kan tidak baik untuk kesehatan. Aku tak mengerti dimana enaknya.” Eunhee menimang-nimang bungkus rokok di tangannya, melemparnya ke udara lalu menangkapnya lagi, dan pada lemparannya yang ketiga, Ji Ho ikut bangkit duduk dan mengambilnya dari tangan Eunhee.
“Kalau kau tak mengerti, coba saja sendiri.” Ji Ho menghembuskan asap rokok panjang yang langsung menghilang disapu angin. “Masalahnya, sampai saat ini juga aku tidak menemukan dimana enaknya, jadi ya, aku merokok terus.” Ia terkekeh, lalu menyalakan lagi rokoknya, aroma tipis menthol memenuhi penciuman.
“Oppa,” Eunhee berkata pelan, nyaris berbisik. “Seharusnya kau–”
Eunhee merasakan sentuhan lembut di pipinya, membuat Eunhee lupa apa lanjutan kalimatnya, namun itu tak masalah, karena Ji Ho mencium keningnya, membuat matanya tak berkedip barang sekejap pun, dan membuat Ji Ho tertawa kecil melihat ekspresinya.
“Kau harus panggil aku dengan panggilan itu lebih sering.” Ji Ho berbisik di telinganya, dan yang Eunhee rasakan berikutnya adalah aroma halus dari menthol dan tawa kecil Ji Ho di antara ciuman di bibirnya.
Malam itu, dunia tak berbatas dan terasa begitu luar biasa.
***
I am strong, love is evil
It’s a version of perversion that is only for the lucky people
Take your time and do with me what you will
I won’t mind, you know I’m ill, you know I’m ill
So hit me like a man and love me like a woman
Buried and sad, look me in the eyes, I want it
One will give you hell, one will give you heaven
Hit me like a man, love me like a woman
Love me like a woman
(Hit me Like a Man, the Pretty Reckless)
***end***