scarletise: (hands on water)
[personal profile] scarletise
Based on: Winterblossom Entertainment Roleplay
Characters: Kim Eunhee (blackpapillon), Tsugihara Shin (Rere Aozora)

Posted Image
A simple touch from a special person works like a lucky charm.



from: +821182134769xxx

Good morning, Miss Kim.
Have a good day today.

Eunhee sudah berkali-kali menerima morning call, bahkan juga morning kiss, dari seorang pria. Itu memang cerita masa lalu, sih. Tapi yang berbeda, Eunhee tahu siapa yang menelepon atau melakukan hal itu. Hal kecil yang menyenangkan--tidak kurang, tidak lebih; bagi Eunhee dulu, hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang dapat menyemangatinya. Sentuhan kecil saja dari orang yang spesial, bisa membuatmu semangat seharian.

Tapi.... morning message? And on top of that, dari nomor yang tidak dikenal? Itu malah membuat Eunhee ngeri.

"Stalker?" Woonha mengerutkan kening, wajahnya langsung tampak waspada begitu Eunhee bercerita. Perjalanan yang macet dari dorm ke lokasi Music Biz berlangsung membuat member-member Blossom lainnya tertidur di belakang, dan Eunhee, yang sama sekali tidak mengantuk, akhirnya memilih bicara pada Woonha. "Mana nomornya? Berikan padaku. Biar perusahaan yang urus."

Tangan Eunhee langsung merangsek ke dalam tasnya, mencoba menyembunyikan ponsel merahnya lebih dalam ke dasar tas--dan mengambil cepat ponsel yang lain. Duh, bisa gawat kalau Woonha tahu ia punya ponsel lain--ia akan harus melaporkan nomornya ke perusahaan, dan punya resiko percakapannya di-track. Padahal ia sudah capek-capek meminta Eunmi membelikan ponsel itu untuknya (imbalannya: tanda tangan para personel Winter).

"Emmm.... tidak apa-apa, kok. Aku sudah blokir nomornya--bisa dipastikan aku tidak akan bisa menerima pesan dari dia lagi." tangannya menyentuh layar, dengan asal membuka sebuah pesan dari salah satu fans. duh, maaf ya, mengambinghitamkan nomormu.

Woonha melirik layar ponsel Eunhee sekilas, sejenak mendistraksi perhatian lelaki itu dari kegiatan mengemudi. "Ah. Kalau nomor yang ini, memang sudah banyak bocor, ya? Nanti aku akan minta ke perusahaan untuk membelikan nomor baru untukmu, kalau begitu."

Eunhee menggeleng. "Nomor ini tetap dipakai juga tidak apa-apa, kok. Lain kali aku akan lebih hati-hati."

Di dalam tasnya, jarinya bersilangan, berharap kebohongan kecilnya tidak ketahuan. Woonha hanya mengangkat alis, lalu kembali berkonsentrasi pada jalanan yag sedari tadi baru maju beberapa meter. Yah, seharusnya Eunhee tidak boleh melakukannya, karena itu pun demi keselamatannya sendiri; tapi Eunhee juga ingin punya privasi, biarpun itu hanya sekedar ponsel.

Tampaknya ia memang harus mengurusnya sendiri.

***
from: +821182134769xxx

Good night, Miss Kim.
Don't force yourself. Sleep well.

Lagi. Eunhee melirik jam, pukul satu pagi--pas ketika ia meyelesaikan jadwalnya untuk hari itu. Kalau dihitung-hitung, ini sudah minggu kedua sejak ia mulai menerima pesan-pesan itu. Dan entah mengapa, Eunhee masih juga belum memblokir nomornya.

Mungkin karena pesan-pesan itu tidak terasa berbahaya. Nomor itu tidak pernah menghubunginya sekali pun. Hanya satu pesan di pagi hari, dan kadang satu pesan lagi di malam hari. Isinya hanya begitu saja--tidak kurang, tidak lebih.

Dan lagi, yang membuat Eunhee merasa pemilik nomor itu tidak bermaksud jahat adalah karena orang-orang yang mengetahui nomor itu tidak banyak. Hanya adik-adiknya sesama member, keluarga intinya--dan Maestro. Semua orang itu bisa dipercaya (Maestro ada di urutan terbawah), sehingga Eunhee yakin, pengirim pesan itu bukan orang aneh.

Yah, tingkahnya sedikit aneh sih, tapi tidak berbahaya. Sampai saat ini, Eunhee belum bercerita kepada orang lain--selain Woonha; dan itu pun kasusnya sudah dianggap selesai karena beberapa hari kemudian ada orang perusahaan yang membawakan kartu SIM ponsel baru. Jadi, saat ini, yang tahu hanya dia saja.

"Yep," Eunhee bergumam pelan dari atas tempat tidurnya, dengan cahaya dari ponsel yang mengiluminasi wajahnya. Kamar begitu gelap dan yang lainnya sudah terlelap. "I'll do well."

***
Saat sesuatu yang sudah begitu biasa terjadi mendadak menghilang, maka pihak yang bersangkutan akan merasa terganggu.

Dan seperti itulah yang sedang dialami Eunhee--uring-uringan sendiri. Aneh juga. Padahal seharusnya dia senang karena pesan-pesan aneh itu akhirnya menghilang. Atau seharusnya wajar saja, bukan? Lagipula Eunhee tak pernah membalas pesan itu--hanya membaca saja. Tindakan dia-lah yang pertama kali tidak sopan, seharusnya Eunhee bersyukur nomor itu tetap mengiriminya pesan selama dua minggu lebih meskipun Eunhee tidak membalasnya.

Tapi tetap saja tidak tenang. Apa pengirimnya sakit? Apa dia baik-baik saja, atau memang dia sudah menyerah?

Ah, apa-apaan, sih. Di ponselnya yang lain, ada puluhan, bahkan ratusan pesan seperti itu setiap hari. Tapi, seperti yang Woonha kemarin dulu bilang, nomor itu memang sudah terlalu banyak diketahui orang. Ah, tapi, bukan tidak mungkin juga kalau ada 'orang luar' yang tahu nomor ponsel merahnya. Kepala Eunhee makin sakit--tambah uring-uringan, mengingat masalah di dorm sekarang sedang banyak yang harus dibereskan. Dari mulai Mi-Yoo, Aki, Caeyoung--

"Eunhee," panggilan Woonha membuatnya terlonjak, "Lusa kau ada jadwal pemotretan di Itaewon. Jadi hari ini fitting pakaian dulu, ya." ia menunjuk layar PDA-nya yang berkedip dengan warna merah. "Ngomong-ngomong, kau kenapa?"

Kenapa? Heh? Masa dia harus jawab 'ada stalker aneh yang berhenti mengirimiku pesan di ponsel pribadi yang bahkan kau saja tidak tahu nomornya, om'? itu sih sama saja cari mati. Karena itu, Eunhee hanya mampu menggelengkan kepala. "Iya. Aku berangkat sekarang."

Ponselnya masih ada di saku, digenggam erat. Mungkin benar kata Maestro, dia benar-benar tidak laku. Sampai yang begini saja bisa membuatnya penasaran (tidak, masih jauh dari kata 'senang'). Eunhee bahkan kaget sendiri ketika sadar pesan itu ternyata cukup penting untuknya. Sempat terpikir untuk mengirim pesan balik, tapi Eunhee tidak sempat menyimpan nomornya (tepatnya, bingung harus disimpan atau tidak), dan kotak masuknya sudah dikosongkan sejak terakhir dia menerima pesan itu. Tapi bagus juga sih, karena kalau Eunhee membalas, bisa jadi itu bukan tindakan yang bijaksana.

Tapi tetap saja.

***
Lusa dan masih tidak ada pesan. Eunhee akhirnya memutuskan untuk masa bodoh saja. Agak sedih sih (nah lho. Dari 'penasaran' tiba-tiba saja maju ke 'sedih'), tapi mungkin pengirim pesan itu memang cuma... stalker aneh biasa yang suka sedikit iseng. Eunhee jadi bingung sendiri dengan kosa katanya. Ya sudahlah.

Rupanya pemotretan kali ini tidak jauh-jauh--oke, memang di Itaewon, yang agak jauh dari lokasi dorm mereka. Tapi dari segi 'jarak' yang lain, rupanya lokasinya memang nggak jauh-jauh amat dari interaksi Eunhee sehari-hari. Bagaimana tidak? Karena tertidur di jalan, ia baru bangun saat mobil sudah mencapai lokasi parkir--dan saat bangun, ia melihat pemandangan yang cukup familiar. Lokasi pemotretan kali ini rupanya di sebuah restoran.

Yang mana yang familiar? Ya, semua anak Blossom juga familiar kalau restorannya itu Exquis. Hm, Aki kemarin-kemarin bilang kalau ia tidak sempat ke Exquis. Mungkin lebih baik kalau dia sampaikan salam atau menanyakan kalau ada pesan pada kakak dan relasi Aki yang ada di sana.

"Selamat datang."

Tuh. Kakaknya Aki muncul di pintu, menyambut. Eunhee lupa namanya--plat logam kecil yang menempel di saku jasnya bertuliskan Tsugihara Shin. Eunhee agak mengernyitkan kening sewaktu dia memperkenalkan diri sebagai direktur--rajin amat seorang direktur mau turun untuk mendampingi pemotretan dan interview sebuah majalah? Tapi Eunhee malas ambil pusing, mungkin majalah itu juga mau mewawancarai Shin mengingat Aki adalah adiknya. Euh. Mereka bertukar salam formal, Shin memberikan keterangan ruangan-ruangan yang ada di restoran, dan juga bertanya kabar rekan-rekan di asrama (dalam kurung--Aki).

Dan hari ini, banyak kucing berkeliaran di lokasi. Kucing-kucing ras berwarna bagus dan mirip seperti yang dia lihat di kartun-kartun; mulai dari Persia sampai Maine Coon. Iseng menghitung selama ia dirias, jumlahnya ada.... delapan. Dan Woonha tidak bilang kalau pemotretannya kali ini adalah bersama kucing. Sialan!

***
Bicara soal kucing, Eunhee berpikir, mungkin keberadaan Shin mendampingi staf selama pemotretan juga karena dia adalah dokter hewan. Eunhee tidak menemukan korelasi lanjutan antara Dokter hewan dan kucing selain mengobati--karena ngapain sih dia ada di sini, apa fungsinya juga menenangkan kucing kalau ada yang berantem?--karena pria itu ada di ruang utama lokasi pemotretan, sesekali mengobrol dengan staf majalah.

"Kau tampak tidak nyaman, Eunhee-ssi," tegur seseorang, membuat Eunhee mendongak--dan ia melihat Tsugihara Shin, menjulang di sampingnya.

"Euhm. Oh, ya?" Eunhee mengait-ngaitkan ujung kukunya ke pakaian--kelakuan yang tak berarti. "Sebetulnya aku agak.. tahulah, tidak nyaman dengan kucing." tiba-tiba saja ada bayangan gigi kucing berkelebat di benaknya, dan ia jadi merasa ngeri sendiri.

Eunhee punya pengalaman buruk dengan kucing. Dia pernah digigit. Digigit, bukan sekedar dicakar. Induk kucing yang anaknya masih kecil-kecil memang super galak--sejak itu Eunhee super hati-hati kalau melihat kucing. Ia suka kucing, tapi selalu memberlakukan kewaspadaan ekstra.

Mungkin kucing juga bisa merasakan kalau Eunhee tidak nyaman berada dekat mereka, sehingga selalu bersikap seperti itu. Masalahnya, itu terjadi begitu saja. Sudah sulit, makin sulit. Eunhee hanya bisa... berdoa. Berdoa pada siapa kali ini? Dewa kucing Mesir, mungkin. Iya, mungkin.

"Ah, sudah kuduga. Kau sedari tadi tampak gelisah." Sosok di sebelahnya itu tersenyum. "Apa kau tidak suka binatang?"

"Tidak juga, sih," Eunhee angkat bahu. "Secara khusus... hanya kucing saja. Ya, masih ada yang lain sih, seperti kecoa, kadal, dan katak sawah--" jarinya mulai menghitung, dan Eunhee berhenti sebentar karena melihat ekspresi Shin yang terlihat geli, "--aku lebih suka anjing. Mereka tidak banyak maunya dan setia."

Obrolan aneh di sela menunggu waktu pemotretan, gumam Eunhee dalam hati. Saat Shin mendatanginya, ia kira cowok itu akan bertanya langsung soal Aki--tahulah, Aki sering curhat padanya soal Shin yang melarang ini-itu, jadi Eunhee kira ia akan tembak langsung soal Aki, karena obrolannya di pintu masuk tadi masih terlalu umum. Tapi, jadinya malah mengobrol tak jelas soal binatang. "Kau 'kan dokter hewan. Kau pasti tak punya masalah, karena kau suka semua hewan."

"Kata siapa? Aku tidak suka ikan. Mereka sulit diperiksa," kata Shin sambil mengedikkan kepalanya, sementara Eunhee menahan tawa karena bibirnya tengah diberi lip concealer. "Orang bilang kucing itu makhluk sombong, tapi mereka cantik dan menarik. Semakin sombong, tantangannya bertambah. Asyik, 'kan?"

"Apanya? Sulit diatur. Egois. Seenaknya dan melompat kesana-kemari, seakan-akan mereka yang mengatur sana-sini. Kucing itu--" Eunhee menghela napas, "arogan!"

Eunhee tak dapat melihat wajah Shin karena matanya yang sedang dibubuhi eye shadow tak memungkinkan untuk terbuka, tapi ia bisa merasakan bahwa pria itu sedang tersenyum.

"Justru itu. Jadi, saat kau sudah mendapatkan hati mereka, mereka akan sangat manja padamu."

***
"Eunhee-ssi, duduk di sofa itu, ya. Tolong pangku kucing yang ini." fotografer menggendong kucing persia tiga warna itu, yang langsung mengeong panjang. Eunhee merasa bulu kuduknya berdiri--tahan, tahan...

Agak berat, tapi sepertinya tidak masalah, batin Eunhee ketika akhirnya fotografer mulai mengambil gambar. Sepuluh kali dan semua masih berjalan lancar, sepertinya kali ini dia akan selamat. Ganti kucing, kali ini yang lebih kecil--jauh lebih ringan. Setelah beberapa menit, Eunhee mulai bisa rileks dan fotografer pun sudah memberikan sinyal oke dengan jarinya. Berikutnya, berganti kucing lagi; kali ini Maine Coon super berat yang rasanya seperti menggendong bayi. Penderitaan.

"Sekali lagi terakhir, lalu kita ganti kostum, dan foto tanpa kucing, ya, Eunhee-ssi?" ujar si fotografer, dan Eunhee langsung menyambutnya dengan anggukan semangat--dari sudut matanya ia dapat melihat Shin yang sepertinya tertawa--sial. "Oke, siap, satu--"

satu sesi lagi bersama kucing dan semua selesai. Tahan--tunggu, kenapa kucing ini tak mau diam? Eunhee bermaksud mengambil perutnya, yang justru malah jadi ekornya--hih, kenapa jadi kucing harus gemuk sekali, sih!

"MEOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOW!"

dan selanjutnya, ditambah jeritan Eunhee yang tidak kalah melengking.

***
Para staf sibuk membereskan lampu-lampu, para stylist juga sudah melipat pakaian-pakaian yang dimasukkan kembali ke dalam koper. Jarum jam menunjukkan pukul dua siang.

Pandangan Eunhee berganti-ganti ke jendela, menanti kapan mobil Woonha datang, lalu ke arah tangannya yang tengah dibalut perban--untung dia tadi sempat menghindar sehingga tidak kena wajah, tapi lukanya lumayan juga--lalu ke arah Tsugihara Shin yang sedang berkutat dengan antiseptik dan pembalut.

"Aki bilang kau tidak suka kucing. Tapi rupanya kucing juga tidak suka padamu." Shin terkekeh, tangannya masih sibuk membalut tangan Eunhee. Ia memberikan sentuhan akhir, menyelesaikan pekerjaannya; wajahnya tampak puas.

"Dasar pembohong," Eunhee mengerucutkan bibirnya, "apa itu 'sudah kuduga'?" gerutunya. Rasanya sedari tadi obrolannya dengan Shin penuh dengan bahan ledekan. Jangan-jangan kemunculan cowok ini hanya untuk mentertawainya saja, lalu dibagi ke Aki (mungkin). Kesal, kesal, dia kesaaaaal. Tapi Woonha lebih pantas dapat tonjokan darinya daripada Shin yang sudah berbaik hati menolongnya, jadi sudahlah.

Shin tersenyum lagi. "Sebetulnya aku di sini juga karena mau mengawasi kalau-kalau hal seperti ini terjadi, dan dugaanku benar," ujar Shin, sambil membereskan perlengkapannya ke dalam kotak. "Sebetulnya kau 'kan bisa saja menolak tadi. Dan--kau malah menahan tanganmu biarpun terluka, dan memutuskan untuk tetap melanjutkan pemotretan tanpa menanganinya dulu. Kalau bahaya, bagaimana? Tindakan sok heroik yang salah, kan?"

Wajah Eunhee masih masam, menyadari kalau kelakuannya tadi super arogan dan keras kepala. "Apa boleh buat. Itu pekerjaan, jadi aku tak bisa menolak begitu saja, sedangkan mereka sudah mempersiapkannya," katanya pelan, matanya mengamati tangannya yang baru saja dibalut. "Yah, tindakanku memang agak memaksa, sih--tapi aku tak mau lagi satu ruangan dengan kucing-kucing itu. Ingat, satu ruangan pun tidak mau. Jadi jalannya ya, memang menyelesaikannya secepat mungkin."

Tawa kecil kembali terdengar (Eunhee membuat mental note;--cowok ini senang sekali menertawai aku--). "Kurasa sesuatu yang sejenis akan saling menolak kalau bertemu--atau bertengkar skala besar." Shin memberi jeda sebelum tersenyum tipis, "seperti kamu dan kucing."

"Terserah." Eunhee mencibir, meskipun ada yang bilang di pojok benaknya bahwa itu benar, hey, itu benar. Tapi peduli amat. Gengsi lah. (sebentar, kucing juga gengsinya tinggi, lho--OH, SHUT UP.) "Terima kasih atas bantuannya, aku akan sampaikan salammu pada Aki. Mobilnya sudah datang, aku akan segera pergi."

Eunhee tak peduli kata-katanya terdengar seperti robot; sudah cukup dia berurusan dengan kucing hari ini, mengalami kejadian yang memalukan, dan diledek terus pula. Meskipun para staf sudah meminta maaf dan memutuskan Eunhee boleh memiliki salah satu pakaian yang tadi dipakai dalam photoshoot, perasaan Eunhee belum lebih baik--mungkin ia butuh segelas, enggak, setengah botol--enggak, whatever it takes, Soju.

"Baiklah, kalau begitu. Aku antar ke depan." Shin berdiri, mengikuti Eunhee ketika gadis itu berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar. Mobil hitam itu sudah tampak di tempat parkir, oh, Eunhee merasa heran ia bisa merasa berterima kasih pada Woonha sekarang, padahal tadi ia ingin menonjok muka si Om manajer keparat itu.

"Terima kasih banyak," Eunhee sekali lagi membungkukkan badannya sekenanya, dan langsung masuk ke mobil. Woonha baru saja akan keluar memberi salam, namun Eunhee menahannya, memberi tanda supaya mobil itu segera pergi. Wajah Woonha tampak bertanya-tanya--namun ia tak bertanya lebih lanjut dan langsung menstarter mobil.

"Sure," Shin melambaikan tangannya, "have a good day today, Miss Kim."

Rasanya terdengar familiar--kata-kata itu terasa pas ketika Shin yang mengucapkannya. Terasa pas sekali di telinganya. Eunhee ingin berbalik, tapi mobil sudah keburu berjalan, dan yang terakhir didengarnya adalah kalimat Shin, "See you later."

Jangan bilang--otak Eunhee berusaha mencerna kata-kata yang berputar sekaligus, bersama dengan piksel-piksel membentuk huruf yang tertera di pesan pendek di layar ponsel merahnya, lalu--lalu--

Apa?

Apa?

HEH?

***
incoming call

from: +821182134769xxx

"So how's the cat's bite?"

Eunhee manyun. Like, totally manyun, meskipun ia tahu persis yang ada di seberang sana tak akan bisa melihat wajahnya. "Kabarnya baik," gumamnya dari atas tempat tidurnya. Ponselnya yang lain tergeletak begitu saja di atas kasur, lampunya yang menyala tak dipedulikan. "Kenapa? Kau takut kucingnya kena rabies? Tenang saja, aku steril, kok."

Tawa renyah itu kembali terdengar di telinga. "Kenapa kejam begitu?"

"You're a stalker," jari-jari Eunhee menyisiri rambut dengan tak sabar, "A big-flirt stalker."

"Kucing harus sering diajak bermain, supaya agak lunak." suara itu berkata lagi, "you do enjoy it though, don't you?"

Eunhee tercenung. Sesungguhnya ini benar-benar cerita yang sangat... aneh. matanya melirik jam; pukul satu pagi, seperti biasa ketika kegiatannya hari itu berakhir. Sebagian tempat tidur di sampingnya terisi; matanya menangkap sosok Aki yang pulas di tempat tidurnya, dan Eunhee diam-diam memutuskan untuk berahasia sedikit.

Dia tidak tahu kemana ini akan berjalan, tapi setidaknya, begini dulu saja sudah cukup.

"Yep." Tanpa sadar, Eunhee tertawa kecil. "Works like a charm."




end

Expand Cut Tags

No cut tags