scarletise: (roses)
[personal profile] scarletise
Based on: Winterblossom Entertainment Roleplay
Characters: Kim Eunhee (@scarletise), Kim Daejung (@reiyanah)

Posted Image

keep those unspoken words close to the heart
Because when I close my hand around your hand, I can feel your hand, feeling mine. And it feels the same.


Baru beberapa jam yang lalu tempat itu ramai dan penuh dengan manusia, bagaikan sebuah pesta. Memang tidak dapat dibilang salah; ada pesta kecil, tadi--penuh dengan orang yang saling mengenal, bersalaman, dan saling memberi selamat. Satu tahun sejak terakhir kali Blossom tampil di comeback stage, dan untuk comeback kali ini, ruang ganti dipenuhi dengan orang-orang dari dalam perusahaan maupun teman dan kerabat.

namun sekarang ruangan itu sudah sunyi kembali. Gelas-gelas kertas yang tadi berisi jus sudah dibereskan semua oleh para kru, karangan bunga yang besar sudah dibawa keluar. Yang tersisa tinggal kostum-kostum yang belum dibereskan, tumpukan tas, beberapa karangan bunga kecil di atas sofa.

"Eonniiii!"

Kim Eunhee menoleh ke arah pintu. Aki melambai ke arahnya, menyuruhnya bergegas. Orang-orang sudah berganti pakaian dan bersiap pulang. Tubuhnya lelah sekali hari ini. Ia mengangguk, beranjak ke meja tempat perlengkapannya--ada beberapa buket bunga yang belum dibereskan. Ia mendapatkan beberapa dengan nama pribadi, dan ia putuskan untuk membawa semua sendiri. Mereka akan dipajang di atas meja makan asrama sampai waktunya dibuang.

"Sebentar," tangannya sedikit kerepotan. Separuh dipeluknya buket-buket itu; ada tiga jumlahnya, dengan ukuran yang cukup besar. Lengannya jadi penuh.

"Ayo, segera bergegas," Woonha berjalan ke arahnya, tangannya terulur menawarkan bantuan. Lelaki berkacamata itu terkekeh melihat Eunhee yang nyaris terbenam dalam tumpukan bunga. "Aku tadi sudah mengangkut milik yang lainnya juga, ayo sini. Dari siapa saja itu?"

"Makasih, Om," gumam Eunhee, memberikan dua buah buket berisi aster dan bunga campuran yang tidak ia ketahui namanya, sementara satu buket yang penuh berisi mawar ia pegang sendiri. "Dari teman... beberapa. Makanya mau aku simpan di dorm saja. Yang lain sudah pada di mobil, ya?"

"Iya, makanya cepat." Alis sang manajer terangkat melihat Eunhee yang masih sibuk dengan satu buketnya. "Yang itu mau kubawakan juga, nggak? Tanggung, kan. Sini coba," memegang dua buket yang lain di tangan kiri, dan ia bermaksud mengambil buket mawar itu--namun Eunhee menggeleng.

"Nggak usah, yang ini biar kubawa sendiri--" tarikan Woonha dan Eunhee yang bertahan membuat buket itu miring, menjatuhkan beberapa tangkai mawar ke lantai; Eunhee menunduk panik ketika bunga-bunga itu berjatuhan. "Aduh! Sial, malah jadi jatuh."

Ketika ia menunduk, hal yang Eunhee dengar berikutnya adalah suara logam yang berdenting beradu dengan lantai, lalu menggelinding. Mata wanita itu berkejap mencari sumber suara; Woonha ikut mencari-cari dan mereka berpandangan dengan tatapan heran. Tangkai-tangkai mawar yang berjatuhan terlupakan ketika wanita itu mengambil sesuatu di dekat sepatunya--Woonha sedang mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.

Suara Aki terdengar lagi dari luar. "Eonniii, cepetan. Ngapain, sih? Woonha-oppa juga malah jadi ikut-ikutan."

"Yaa, segera ke sana, Aki-ya," Woonha menyahut, menoleh lagi ke arah Eunhee. "Bereskan yang jatuh dan segera menyusul, Eunhee-ya. Ada apa?"

Eunhee menelan ludah dan memasukkan benda itu ke dalam saku. "Tidak... tidak ada apa-apa."

Ada sebentuk cincin di sakunya.

***

Hyesun ulang tahun. Apa hadiah yang lebih baik? Cincin atau kalung?

Hyesun ulangtahun? Kurasa kalau darimu, apa saja bisa. Tapi kalau cincin, semua cowok bakal kabur, lho.


***


Pukul dua pagi dan lampu kamarnya masih menyala. Orang-orang sudah tidur. Eunhee duduk di depan mejanya, cermin di hadapan; matanya mereka-reka wajahnya yang masih tampak lelah selepas tiga jam rekaman untuk siaran televisi yang ditampilkan secara live. Mencoba menutup matanya, namun tidak--matanya masih terbuka.

Tidak ada kartu. Tidak ada kotak. Hanya sebuah buket mawar terikat pita di atas meja, dan sebentuk cincin di sebelahnya. Jemarinya memutar-mutar benda itu seperti sebuah mainan tak dikenal. Membiarkannya menggelinding, memindah-mindahkannya dengan tangan.

Daejung sendiri yang memberikannya tadi. Eunhee selalu tahu kalau lelaki itu sibuk; dan tambahan lagi--suasananya akan ramai dengan orang. Karena itu, ia agak terkejut juga ketika menemukan Daejung muncul di sudut lorong SKTV sementara koleganya dan teman-teman lain memenuhi ruang ganti, saling mengucap salam dan selamat sehingga tak sempat memperhatikan detail-detail kecil.

Wanita itu tersenyum menerima ucapan selamatnya--dia cocok dengan bunga itu, katanya. Senyum bangga, dan segalanya--mencium lelaki itu sekilas sebelum kembali lagi ke ruangan karena sudah dipanggil. Yah, lama-lama ia sudah terbiasa dengan kemunculan mendadak Daejung, tapi rasa senang itu toh tidak berkurang. Ia juga tidak pernah berpikir macam-macam.

Jarinya terasa dingin ketika cincin itu disentuhnya sekali lagi, dan akhirnya mencoba memasangkannya di jari manisnya sendiri. Cincinnya agak longgar--tapi bukan longgar yang akan membuat cincin itu jatuh ketika dipakai. Ukurannya terasa nyaman di jarinya. Diambilnya ponsel dan mengetikkan sebuah pesan singkat. Eunhee tak tahu apa jawaban yang ia harapkan dari pesan yang isinya seaneh itu. Ia juga tak berharap pesan itu dibalas. Ia bingung.

Ini apa?

message sent


Cincin itu ia lepaskan dan ia taruh di dalam laci.

***

"Sepertinya hari ini sedang tidak konsentrasi, ya? Lagu apa yang aku mainkan tadi? Coba sebutkan."

"Hah?" Eunhee mengejapkan mata. "..ya? Lagunya--"

"Jawabanmu tadi juga sudah menjelaskan kalau kau tidak mendengarkan." Pelatih vokalnya melipat lengan di dada, tatapannya tajam--dan Eunhee mendesah menyesal. "Hari ini sudahi saja. Tidak ada gunanya juga kalau kau tidak bisa konsentrasi. Jangan longgarkan konsentrasimu mentang-mentang comeback kemarin sukses, dong."

"Apa, seonsangnim? Aku tidak begitu, kok. Hanya saja... hari ini aku agak melamun." Eunhee cepat memotong begitu sang pelatih berkata 'mentang-mentang'. "Iya. Aku memang melamun hari ini...maaf."

Jadwal hari ini berjalan biasa saja. Eunhee pun tidak merasa ada yang aneh dengan jadwalnya hari ini. Semua adalah hal-hal yang biasa dilewatinya dengan atau tanpa promo sekali pun; latihan rutin yang ia lakukan setiap hari dengan rutinitas yang sama, yang urutannya pun sudah ia hafal tanpa perlu mengingat lagi. Tidak akan pula terganggu oleh jadwal musikal dan promo yang berdempet--karena latihan ini sudah seperti makanan pokok kedudukannya. Namun ternyata tidak selamanya begitu.

"Jangan kaku begitu," sekarang malah giliran pelatih itu yang lebih santai, terkekeh. Eunhee merasakan bahunya ditepuk. "Aku tahu biasanya kau jarang lepas konsentrasi, kok. Bukan sebulan-dua bulan aku mengajarmu, kan. Ada yang sedang kamu pikirkan?" Wanita paruh baya itu bertanya sebelum menambahkan. "Aku sudah dengar keseluruhan album kalian. Track solomu lumayan. Itu kau buat sendiri?"

"...ne," Eunhee menjawab cepat, dan ia kebingungan sendiri pertanyaan mana yang sedang ia jawab. "Ah, iya. Aku.... maksudku, tidak. Ada banyak bantuan dari yang lain juga, kok. Produser memberiku masukan untuk--"

"Ara, bukan itu. Aku tahu, kau tidak mungkin menangani lagu itu sendiri sampai mixingnya selesai, jelas. Maksudku, mentahnya. Kau buat sendiri?" tangan sang pelatih masih ada di bahunya. "Aku suka lagunya. Tidak istimewa, tapi aku suka. Kerja bagus, Eunhee-ya."

Eunhee tersenyum. Senyumnya lebih lebar dari biasanya, dan si pelatih dapat melihat pipi Eunhee yang sedikit menggembung dan matanya yang semakin menyipit--Eunhee berpaling cepat, dan hanya menggeleng lembut. "Ada sedikit bantuan."

Pelatih vokal yang sudah melatihnya selama tiga tahun terakhir itu terkekeh.

***

Ada beberapa kopi album yang bisa Eunhee ambil untuk diberikan kepada orang-orang terdekat. Kopian itu disimpannya di tas dengan beberapa ucapan khusus--tergantung siapa yang menerima. Baginya album ini spesial karena merupakan album penuh, banyak perbedaan dibandingkan dengan yang lalu, dan ia mendapat kesempatan untuk menyanyi sendiri di dalamnya.

Eunhee tidak pernah mendapatkan kesempatan itu di album yang lalu-lalu. Anggotanya banyak, dan suara Ame serta Caeyoung lebih bagus dari dirinya; suaranya hanya terdengar beberapa kali dalam sebuah lagu. Karena itu, ketika ia akhirnya mendapatkan kesempatan itu, dan ikut serta juga dalam pembuatannya--ada rasa lebih bangga, apalagi ketika produser setuju untuk memasukkan dasar lagu buatannya sendiri.

Lagu itu lagu yang sederhana. Dinyanyikan separuh bercanda dan ketika membuatnya pun nada-nada itu banyak diselingi kata-kata tak penting dan tawa kecil. Meskipun lagu itu masih mendapatkan revisi oleh produser, namun Eunhee masih bisa melihatnya di sana ketika lagu jadinya ia dengar untuk pertama kali; lekuk senyum dan napas dan kecupan dan--

Ia menuliskan ucapan kecil dengan spidol berwarna biru untuk kopi album yang ia letakkan di atas bantal Daejung kemarin--di sisi yang biasa menjadi tempat lelaki itu tidur kalau Eunhee datang. Kecil, dan Eunhee berpikir berkali-kali apalagi yang bisa ia tuliskan di sana--namun tidak ada. Kalaupun ada, mungkin hanya ucapan terima kasih yang akan ia tuliskan sampai tinta spidolnya habis.

***

Teleponnya berdering malam itu.

"Kamu nggak apa-apa?"

"Ng.... maksudnya? Nggak apa-apa apanya?"

"Suaramu. Seperti orang sakit."

Kaki Eunhee terayun-ayun di pinggir tempat tidur. Matanya menatap langit-langit, sementara terdengar suara lagu dari komputer yang masih menyala di pojok ruangan. Jam di dinding menunjukkan pukul satu pagi. Eunhee tidak tahu bagaimana kabar yang lain--Kaya dan Aki entah sudah pulang atau belum. Kalaupun Yumi ada di kamarnya, mungkin ia sedang mengerjakan tugas kuliah. Mi-yoo--sepertinya--sudah positif tidur.

Wanita itu berguling di tempat tidurnya, mengamati sprei yang baru saja diganti dengan sprei pemberian Kaya kemarin (kuning muda, dengan garis putih dan bunga-bunga warna lembayung). Mendengar suara orang di seberang sana, namun tidak segera menjawab.

"Ng....nggak. Kukira kamu tidak akan datang." Eunhee berkata sayup-sayup. Eunhee tidak yakin apa suara semacam itu yang dimaksud Daejung dengan sakit--karena ia sekarang merasa sangat sehat, kok. Namun memang, seperti seharian ini, ia tak dapat memperkirakan apa yang akan dia katakan. Sekarang pun, ia butuh beberapa detik untuk mengingat--barusan ia mengatakan apa?

"Tapi buktinya datang, kan."

"Aa... iya. Kamu sudah ke rumah?"

"Belum."

"Hmmmm......"

Perempuan itu berguling lagi, mengamati layar ponselnya yang lain--yang masih berpendar, menunjukkan pesan terbaru dari Woonha tentang pekerjaan. Disentuhnya layar ponsel itu, membuatnya mati--tak ia pedulikan lagi. Bibirnya terkatup dan tak berkomentar apa pun lagi. Pikirannya pun tak berisi apa-apa. Hanya diam saja. Pun orang yang di seberang tidak berkata apa-apa. Hanya kesunyian yang mengisi ruangan itu--dan juga saluran telepon--selama beberapa menit.

"Pakai, cincinnya."

"Ha--?" Terkesiap mendengar kata itu, Eunhee bangkit dari tidurnya. Berdiri dan mengambil benda itu dari laci mejanya yang ada di sebelah kasur--tidak perlu melangkah. Dan kebingungan kembali muncul di kepalanya. Kebingungan yang semestinya tak pernah muncul di dalam pikiran wanita seperti dia--bagaimana tidak, sejak kapan ia begitu memikirkan hal-hal semacam itu? Suaranya masih sayup-sayup, dan bahkan Eunhee menyadari nada aneh yang muncul ketika ia bertanya. "....di mana?"

Sunyi lagi. Suara Daejung terdengar canggung di telepon, dan sedikit banyak perempuan itu jadi ikut merasa gelisah; bertemu akan lebih mudah dibanding bicara hanya via telepon, dan Eunhee tercenung menatap sisi tempat tidurnya yang kosong. Butuh jeda beberapa detik dan tarikan napas panjang dari Daejung sebelum akhirnya Eunhee mendengar jawaban. "Di.... jari tengah. Sampai nanti ada yang menggantikan."

"Yah--..."

"Jangan dilepas." Lelaki itu memotong lagi.

Kata-kata itu terdengar seperti komando, dan Eunhee mengamati lagi benda di genggamannya. Ia bukan penggemar perhiasan. Selain dari yang diberikan stylistnya untuk dipakai, dalam kesempatan pribadi, ia jarang menggunakan perhiasan. Namun hal itu juga jarang terjadi, mengingat setiap kali keluar, selalu ada barang dari sponsor yang wajib digunakan.

Namun bukan karena alasan itu juga ia berpikir sebanyak ini. Dipasangnya benda itu di jari tengah tangan kirinya--seperti yang diminta. Eunhee menjatuhkan tubuhnya ke kasur, tangannya terjulur ke udara; cincin itu sudah kembali terpasang di jemarinya. Cahaya lampu membuat benda itu berkilau lebih dari yang seharusnya, membuat mata Eunhee berkedip.

Wanita itu memejamkan mata.

"Sabtu," ucap Eunhee akhirnya, membiarkan ponsel merahnya tergeletak di samping kepalanya setelah ia memastikan sudah menekan tombol untuk loudspeaker. "kamu ada di rumah, kan?"

"Aa." Daejung menjawab cepat.

"Aku akan datang pukul satu pagi."

Pembicaraan berakhir.

***

Sekali waktu, ada lagu yang dinyanyikan untuk Eunhee.

She never expect more surprises. Maksudnya, memang apa lagi yang bisa diharapkan dari kehadiran saja? Karena baginya itu sudah cukup dan sudah sangat melegakan.

"Kamu bicara apa?" Itu pertanyaan Daejung ketika Eunhee memeluk lelaki itu dan berbisik kata-kata yang bahkan tidak Eunhee ketahui apa maksudnya. Dan Eunhee masih bergumam, bergumam, bergumam dan bergumam--hingga Daejung menariknya dan mencium bibirnya.

Wanita itu menarik napas dan tertawa di antaranya--melewatkan beberapa jam yang diisi dengan beberapa nada dan bermain-main dengan senandung-senandung pendek.

She considers him as home.

***

"Daejung?"

Eunhee disambut lorong depan yang gelap ketika ia masuk, dan udara pendingin ruangan yang membuatnya cukup setengah hati ketika melepas jaket. Tidak ada orang di ruang tengah, namun lampu kamar masih menyala; cahayanya menyorot lewat bagian bawah pintu yang sempit. Eunhee berusaha membuka pintu sepelan mungkin, dan akhirnya menemukan Daejung yang tidur di sisi tempat tidur yang menghadap tembok, dengan headset yang masih terpasang di kepala.

Wanita itu menghela napas dan duduk di pinggiran kasur. Eunhee memperhatikannya sebentar, naik dan mendekat--mengira-ngira lelaki itu sedang mendengar apa sampai tertidur begitu. Eunhee tadinya hendak memanggil, namun ia tak sampai hati. Album grupnya yang terbaru ada di atas meja sebelah tempat tidur, dan ketika Eunhee membukanya, isinya kosong.

Eunhee melirik Daejung lagi; beringsut mendekati telinganya yang masih tertutup headset. "Hei," ia bergumam, dan Daejung masih tidak terusik. Suatu hal yang jarang karena biasanya lelaki itu begitu mudah terbangun oleh suara sekecil apa pun. Eunhee mengerutkan kening melihat headset yang masih terpasang dan melepaskan benda itu dengan hati-hati. Pemutar musiknya ternyata masih menyala.

Ia dapat mendengar suaranya sendiri terdengar sekilas dari dalam, dan pipi Eunhee menggembung tanpa perempuan itu sadari. Lagunya didengarkan, rupanya. Dimatikannya benda itu dan ia menunduk, mencium pipi lelaki itu dengan kening berkerut. "Hei, Aku tahu kau tidak tidur."

Tak ada yang salah dengan pemberian itu. Tak ada yang aneh pula, dan itu bukan masalah baginya. Namun tetap saja. Daejung membuka mata akhirnya, menatap Eunhee dengan wajah seperti biasa kalau Eunhee datang. Eunhee meringis, dan yang wanita itu lakukan adalah menyodorkan tangan kirinya, masih dengan cincin di jari tengahnya.

"Ini.... tolong pasangkan yang benar."

Eunhee juga tidak tahu apa yang membuatnya mengatakan hal itu.

"Itu 'kan sudah benar." Mata pria itu berputar, memperhatikan, namun tak berkata apa-apa lagi selain itu. Eunhee menghela napas tak puas.

Daejung bangkit, membiarkan Eunhee duduk di hadapannya sementara lelaki itu membetulkan posisi duduknya sendiri. Selimut yang tadi menutupinya disingkirkan, dan ia hanya tersenyum tipis--dan Eunhee mengeluarkan reaksi yang sebaliknya. Alih-alih tersenyum, perempuan itu merengut, tangannya bergerak cepat melepaskan cincin yang tadi terpasang di jarinya, memberikannya ke tangan Daejung.

"....pasangkan oleh yang memberi, dong."

"Sini." Lelaki itu tertawa kecil, tangannya mengambil tangan Eunhee perlahan. Memasangkan cincin itu lagi di tangan kiri Eunhee--kali ini di jari manis dan bukannya jari tengah. tidak berkomentar lagi sementara Eunhee memperhatikan dengan cermat apa yang terjadi tanpa suara--cincin itu sudah kembali ada di jarinya. Sama seperti tadi, namun entah mengapa--

Menit berikutnya, yang Eunhee ingat, ia sudah menghambur memeluk lelaki itu. Perempuan itu diam merasakan tangan Daejung yang mengusap rambutnya, sementara napasnya sendiri terasa tersengal dan ia begitu sulit untuk bicara. Eunhee terbatuk dan mengejap-ngejapkan matanya berkali-kali, sekuat tenaganya--ia tak tahu wajah Daejung seperti apa karena ia memilih membenamkan diri, sementara matanya mulai terasa panas.

Namun Eunhee mendengar.

Ia bisa mendengarnya.

Tidak hanya saat ini. Kata-kata itu sudah ada sejak kemarin-kemarin, membayang di setiap gestur dan senyuman.

Ia bisa mendengarnya dengan baik--atau seperti sekarang, ketika ia merasakan bibir Daejung di bibirnya.

***

"Eun,"

"Hm?" Perempuan itu mendengar namanya dipanggil, dan ia mendongak; menemukan Daejung yang menatapnya dengan tangan menyangga kepalanya. Di bawah selimut, kaki Eunhee terbelit dengan kaki Daejung seperti simpul, dan Eunhee tertawa ketika Daejung melakukan tendangan kecil dalam rangka pembalasan. Lampu kamar sudah mati sejak dua jam tadi; namun toh mereka tidak tidur.

"Nanti rumahnya tak akan sekecil ini, kok." Daejung berkomentar singkat, sementara tangan kanannya membetulkan rambut Eunhee yang sebagian menutupi wajahnya.

"Apa--" mata Eunhee membulat. Bagaimana tidak, ia tadi mengira Daejung akan berkomentar soal perang kaki mereka yang tidak selesai-selesai sejak sepuluh menit yang lalu, dan ia otomatis tertawa mendengar komentar yang jauh dari perkiraan. "Yang ini saja sudah cukup, kan."

"Kalau punya anak, kan tidak mungkin cocok kalau apartemennya sekecil ini," Daejung menghela napas, kepalanya mengedik serius ke arah langit-langit yang tak terlihat karena gelap. "Harus cari yang lebih besar."

Eunhee kembali terkekeh, wajahnya bersemu merah. "Memangnya anaknya ada berapa?"

Daejung menatap wajah Eunhee yang hanya beberapa belas senti di dekatnya, pandangannya masih serius biarpun di bibirnya masih terkulum senyum. Tangannya kali ini membetulkan selimutnya hingga menutupi bahu mereka.

"Maunya berapa? Kalau satu pun, tidak mungkin kalau hanya satu kamar begini, kan."

"Iya, iya..." Eunhee tak berkata apa-apa lagi, mengangguk--tangannya merapatkan pelukan dengan mata separuh terpejam--kata-kata itu terasa lucu baginya, baginya yang tak pernah berpikir hal semacam itu; dan kelopak matanya semakin lama semakin terasa berat. Ia suka aroma lelaki itu, dan sepertinya akan selalu. Wanita itu menarik napas panjang sebelum membetulkan posisi tidurnya sedikit, berbisik di lehernya. "Kamu selalu membuatku mengantuk."

Daejung tersenyum, memeluk perempuan itu dan mengecup kepalanya. "Tahu, kok."

Eunhee tak ingat lagi apa yang Daejung ucapkan--ia sudah terlelap; bayangan terakhirnya adalah samar-samar, ada sebuah rumah dengan halaman kecil di depannya... ia dapat melihat dirinya sendiri, Daejung, dan bayangan kecil di kejauhan, entah siapa--semua samar-samar. Ia ingin berjalan dan melihat siapa itu, namun pikirannya sudah melarangnya untuk melangkah dan ia tertidur.

let's start in our finish line.

***end***
This account has disabled anonymous posting.
If you don't have an account you can create one now.
HTML doesn't work in the subject.
More info about formatting

Expand Cut Tags

No cut tags