Scattered Thoughts
Jul. 28th, 2015 05:16 pm![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
Based on: Winterblossom Entertainment Roleplay
Characters: Kim Eunhee (@scarletise), Park Jiho

scattered thoughts
I want everyone to be happy. But I want to be happy too. A selfish request, isn't it?
Flat kecil itu agak berantakan--mungkin karena sisa kemarin. Tong sampah di bawah tempat cuci piring masih belum dikosongkan, ada beberapa kaleng kosong bir di dekat meja tempat sebuah televisi kecil model lama bertengger, dan ada sisa-sisa remah roti di atas karpet. Cuaca di luar sudah mulai menurun sampai beberapa derajat, meskipun belum sampai di titik nol. Tapi, memang tidak memungkinkan untuk keluar sekarang. Mereka ada di lantai dua, tapi mereka sama sekali tidak berminat untuk membuka jendela. Hanya gordennya saja yang dibuka, dan dari dalam mereka bisa melihat pemandangan langit--gelap, buram. Sebentar lagi mungkin turun salju.
Sekarang pukul 2 pagi, dan Eunhee duduk di atas karpet, tubuhnya bersandar ke satu-satunya sofa yang ada di sana; kakinya berselonjor. Tangannya memegang secangkir teh yang masih panas, yang baru ia buat sendiri di dapur--sebenarnya tidak jelas juga pembagian ruangannya seperti apa, karena toh flat itu hanya berupa apartemen satu ruangan. Semuanya bersatu di situ, ditambah satu kamar mandi.
"Nggak usah sungkan," Park Jiho duduk di sampingnya, berkomentar sambil membuka kaleng bir yang dipegangnya. "padahal kemarin kamu minum sama Seongjin. Kenapa sekarang tahu-tahu buat teh?" tanyanya, merujuk pada acara kemarin lusa.
"Karena kemarin aku sudah minum, jadi sekarang aku minum teh," Eunhee mengangkat bahu. "Kemarin siang sudah ketemu Serim-ssi dan keadaanku sudah lebih membaik. Dianjurkan ambil detoksifikasi, sih, tapi aku ingin tahu sampai mana batasku."
Pesta--kalau bisa dibilang pesta, karena mereka bertiga cuma makan dan minum sambil mengobrol ngalor-ngidul. Memang, itu juga yang membuat flat Park Jiho--tempat mereka sekarang berada--jadi agak berantakan. Bagaimana tidak? Hari pertama begitu Eunhee datang ke Daegu, Seongjin langsung menyusulnya dengan antusias, mengajak bayinya yang umurnya baru jelang tujuh bulan. Mereka makan jajanan di kota, lalu berakhir di flatnya Jiho--dia tinggal di flat sekarang, bukan rumah seperti waktu dulu; karena rumah itu sudah disegel pihak pemerintah ketika ayah Jiho yang pejabat daerah ditangkap terkait kasus penyuapan. Dan pagi harinya, suami Seongjin yang usianya lebih tua dua belas tahun itu datang sambil panik namun berakhir dengan adegan romansa a la film jaman dulu di depan pintu. Eunhee dan Jiho sampai ngakak.
Flat itu kecil, tapi cukup nyaman; dan seperti yang selalu Jiho katakan dengan bangga, flat itu ia bayar dengan penghasilannya sendiri.
Jiho terkekeh mendengar komentarnya. "Berarti kemarin itu kesempatan istimewa, dong. Sekarang sudah jarang, minum-minum begitu?"
Jawabannya berupa anggukan. "Iya, sekarang sudah lebih sedikit. Tahu tidak, bahkan sekarang aku lebih memilih minum teh oolong di kantor daripada ambil bir. Ini agak mengagetkan. Meskipun--karena kemarin aku minum lagi, mungkin besok-besok aku bakal kena sedikit serangan sakit kepala lagi." Eunhee menghirup tehnya, meletakkannya di samping tubuhnya. Hangat menjalari kerongkongan. Jadi ingat kemarin-kemarin ia menyeret Woonha menemaninya minum di studio. Woonha tadinya marah, tapi bengong begitu tahu dia malah ditawari teh.
Entahlah, mungkin--selama ini dia memutuskan minum untuk mengisi yang kosong.
"Ambil saja detoksifikasinya." kata Jiho. "Saat ini aku sudah bisa menekannya dalam batas normal. Lingkungan yang bagus itu sangat membantu, lho. Aku ngerti sih kalau yang namanya artis-artis itu nggak mungkin lepas dari kehidupan malam dan alkohol.... tapi cobalah. Ubah lingkungan. Teman nggak harus didapat dari situ, kan?"
"Mengerti, mengerti, pak konselor," Eunhee tertawa kecil, "Nanti aku ambil. Benzodiazepine sudah berhenti, kok. Kata Serim-ssi tidak usah--tapi kadang aku masih butuh aspirin kalau tahu-tahu sakit kepala... dan vivitrol. Levelku sebetulnya belum sampai harus berada di rumah sakit dan punya dokter yang harus mengawasi detak jantungku, kan. Kalau kau dulu, oppa--berapa lama, sih?"
"Lama juga. Sebagian aku jalani sambil masih menjalani wajib militer." Jiho tersenyum ke arahnya dengan lagak agak bangga, membuat Eunhee mendengus melihat polahnya. Respons yang jauh lebih positif dibandingkan Jiho beberapa tahun yang lalu. Sama-sama tertawa, tapi kali ini berbeda. "Memang agak sepi karena sendirian. Baru beberapa bulan aku sudah diputuskan pacarku. Mungkin gara-gara aku kena karma, meninggalkan seseorang sampai dia kena masalah bertahun-tahun. Bikin nyasar anak orang, istilahnya."
Eunhee terdiam. Rasanya agak aneh membincangkan hal semacam ini dengan ringan, seperti sekarang. Masa-masa yang ia lewati dengan banyak depresi dan bahkan membuat kehidupannya sempat terhambat--sekarang bisa mereka bicarakan dengan ringan. Memang masih ada yang sedikit menusuk di benaknya, tapi sekarang, perasaan itu sudah lebih baik--mungkin berangsur-angsur menghilang. Membuat beban di paru-parunya sedikit terangkat.
Kontak intens dengan Park Jiho dimulai lagi setelah dua tahun--ketika pria itu mencoba menghubunginya. Datang ke rumah dan membuat Eunhee menemuinya kembali. Karena ada sesuatu yang kosong yang minta diisi, dan ketika itu--yang ada hanya Park Jiho, yang mengulurkan tangan dan menemaninya sampai pagi--meskipun ketika itu Jiho bilang dengan jelas; pengisinya bukan dia.
Dunia berputar, ya.
"Tapi sekarang wajahmu sudah tidak kelihatan lelah dibandingkan waktu aku datang ke Seoul kemarin," Jiho berujar lagi, memecah kesunyian. "Sudah lebih tenang sekarang? Kebanyakan orang minum berlebih untuk menghindari problem, Eunhee-ya.... dan ketika kamu memutuskan untuk betul-betul berhenti sampai mantap, berarti memang ada hal yang sudah kamu putuskan."
Tersenyum tipis, Eunhee hanya mengambil tehnya lagi dan meminumnya. "Bagaimana, ya? Kau ini macam Ayahku saja--hey, Ayahku bahkan tidak pernah tanya soal itu."
Jiho terkekeh lagi. "Dia memperhatikan kamu, kok. Anggap saja aku yang menyuarakan pendapatnya dalam hati."
----
Salju turun satu per satu, awalnya sedikit, namun lama-lama mulai menderas.
"Oppa--nonton televisi?"
"Nonton."
Mereka terdiam lagi--Eunhee termenung, menatap kakinya yang ujung jarinya agak bengkok lantaran pernah cedera sewaktu latihan. Dia benar-benar nggak bisa menari, dan akibatnya, kalau sekalinya mereka mempelajari koreografi yang agak sulit, ia jadi sering terkilir. Dan waktu itu, ketika menyelesaikan koreografi yang mengharuskan pakai sepatu 12 cm, dia jatuh--kena jari kakinya yang jadi patah, dan endingnya, agak bengkok.
Dia selalu butuh bantuan dalam soal dance. Seringkali Mi-yoo mengajarinya meskipun ujungnya malah jadi main-main karena celotehan Mi-yoo yang sering ngaco, atau juga Kaya--meskipun seringnya dia cuma bisa lihat karena anak itu mah boro-boro mau mengajari.
Bersama-sama Blossom, dia sudah dua tahun. Tapi melihat yang ia lakukan, sejak ia ditunjuk menjadi leader sampai sekarang--tidak ada yang pernah ia lakukan betul-betul. Satu per satu anggota lepas dan ia tak pernah berusaha mencari. Berpikir memang iya, tapi ia tidak pernah bertindak. Terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, terlalu sibuk mencoba menangani diri sendiri dan lupa pada yang ada di sekitarnya--dan baru sadar ketika mereka semua lari. Semata-mata karena ia ingin melindungi dirinya sendiri.
Ia tidak mau sakit.
Lalu membuat orang lain sakit.
"Aku nggak percaya gosip, Hee-ya. Mereka bisa memasukkan segala bumbu ke dalam beritanya supaya seru."
Eunhee hanya tertawa kecil mendengarnya. "Kau benar. Tapi--yah, mereka nggak sepenuhnya salah, kok."
Karena di dalam perspektif dirinya sendiri, suka atau tidak, ia melakukannya. Mengambil lagi apa yang ia redam kuat-kuat. Melepaskan yang pergi dan tidak mencoba untuk mengejar. Merenggut apa yang seharusnya bukan untuknya. Hei, sudah terlalu banyak dosa yang ia lakukan--memangnya sekarang dia pantas begini?
"Nggak tahu. Aku juga nggak tahu... sumpah. Rasanya bodoh." Ia menunduk, kakinya naik dan membengkok, dan ia duduk memeluk lututnya. "Ini antara... aku memberikan kesempatan pada orang, lalu aku juga yang merenggutnya. Aku juga yang mengambilnya. Lalu.... sekarang... tanpa aku memikirkan orang-orang yang terlibat di dalamnya... aku berjalan begitu saja di atasnya."
Dan sekarang, ketika ia perlahan mendapatkannya, ia takut kebahagiaan ini hilang. Rasanya temporari.
Takut. Ia takut.
Ia takut kehilangan.
Sampai ia tak berani bertanya.
Tapi ia tidak suka kalau harus begini.
"Kamu suka?"
Pertanyaan itu membuat Eunhee menghentikan lamunannya. "Siapa?"
"Yang kamu bilang sampai membuat kamu jalan dan menginjak-injak." Jiho angkat bahu. Nyengir, karena dia tahu pasti Eunhee tidak akan menjawab. Tangannya terulur, menepuk wajah gadis itu pelan, membuat keningnya yang agak tertutupi helaian rambut berkerut. "Nggak usah dijawab juga nggak apa-apa. Ya bagus kan kalau kamu bisa berjalan lagi. Mudah-mudahan saja semua berjalan lancar... karena aku juga yang bikin kamu sampai sulit begitu. Sori."
Eunhee diam. memandang raut wajah Jiho. Membaca ekspresinya. Sejenak ada rasa berat lagi yang menghempas hatinya, namun ia menarik napas panjang, membuatnya sedikit merasa lega. Gadis itu tersenyum kecil. "Banyak hal yang terjadi, oppa." Ia berkata perlahan, "meskipun aku juga nggak begitu tahu isi kepalanya kayak apa. Sekarang pun... meskipun sepertinya aku mengenggam, rasanya seperti tidak menggenggam."
"Karena memang tidak ada yang namanya genggam-menggenggam, kau tahu," Jiho terkekeh, "menggenggam terlalu kuat hanya akan membuatnya hancur, Hee-ya. Makanya harus dilepaskan. Agar berkembang sendiri."
----
(Hei.)
(Seandainya kamu bilang tidak mau lepaskan aku. Apa mungkin aku bisa.... melepaskan kamu?)
(Apa masih boleh aku memegang tanganmu?)
(Apa kamu mau terus menggenggam tanganku?)
----
Dia tidak mungkin membiarkan keadaan sekarang mengalir terus, membiarkannya menutup telinga, bukan? Kaca itu ia injak, kaca itu mengenai orang lain, dan mungkin untuk mencapai ujungnya juga ia butuh usaha yang lebih keras lagi, atau mungkin juga orang itu akan pergi. Apa pun akhirnya ia harus siap, dan kali ini ia memutuskan untuk tidak akan membuang muka lagi. Berdiri, berjalan. Mungkin sekarang ia sendiri--tapi nanti, ia ingin sama-sama. Kalau memang bisa. Kalau memang orang itu tidak pergi.
"Tapi... sedikit egois itu bagus untuk kesehatan, kau juga yang biasanya bilang begitu." Jiho berdiri, meregangkan tubuhnya.
Eunhee jadi ingat, dia dulu begitu sering mengatakan kata-kata itu pada seseorang yang dia kenal. Setiap mereka duduk dan minum-minum sampai pagi, setiap orang itu mulai bercerita betapa beratnya untuk memilih salah satu karena ia menyayangi semuanya. Ah, Eunhee tidak pernah mengerti mengapa dia bisa kebingungan memilih. Tapi sekarang ia jadi berpikir kembali--dan sedikit demi sedikit mengerti.
Gadis itu melirik sebentar ke jam yang ada di dinding--pukul empat. Begitu cepat waktu berlalu.
"...entahlah. Aku kenal orang yang memutuskan untuk melepaskan semuanya dan akhirnya tidak mendapat apa-apa. Kadang aku ingin bertanya, apa dia bahagia? Mungkin orang lain senang, tapi dia sendiri bagaimana? Itu bukan akhir yang kuinginkan. Sekarang pun...." pandangan Eunhee menerawang, ke arah jendela yang berembun karena salju. "Sekarang pun aku bicara seperti ini... sebetulnya aku takut. Lalu aku bertanya-tanya apakah aku bisa berdiri meskipun sudah memutuskan untuk memberi--aku masih takut."
"Hee-ya.... ketika orang mulai bisa memberi, saat itulah dia bisa menerima begitu banyak--meskipun mungkin dia tidak menyadari... dan bentuknya bukan yang kamu inginkan. Tapi jangan berjalan sendiri." Jiho berkata pelan, mengisap rokoknya lama-lama, menghembuskan asapnya dalam bentuk asap putih yang tebal dan panjang. Menatap mata gadis itu. "Aku tahu itu persis. Karena seharusnya aku nggak pergi waktu itu. Tapi--aku pergi, dan ini yang kita dapatkan."
Jiho tidak pernah bilang dia mau pergi, dulu. Yang ia lakukan adalah menghilang begitu saja. Ketika Jiho sudah mulai jadi aneh dan mengalami halusinasi setiap malam, ketika Eunhee juga beberapa kali merasakan tamparan dan pukulan di tubuhnya karena Jiho yang tubuhnya mulai terhajar habis oleh obat-obatan. Dan Eunhee pun tak melakukan apa-apa. Hanya menangis sambil bertanya dan mempersalahkan. Merusak diri sendiri. Begitu juga Jiho yang pergi tanpa berkata apa pun. Tak ada yang bicara dan mencoba untuk menjelaskan. Sampai bahkan membuat Eunhee sulit untuk percaya.
Kali ini, ia ingin maju.
Eunhee tercenung.
"Yang namanya 'akhir' itu nggak ada."
----
Tetap saja, biarpun ia sudah sampai sini, rasa itu tetap ada.
Yang bilang, yang berharap, yang meminta dalam hati meskipun tidak akan dia katakan.
(Jangan
lepaskan
aku.)
Tidak--dia tidak boleh berpikir begini.
----
"Kita bakal ketemu lagi?" malah pertanyaan itu yang keluar.
"Tahun depan," kata Jiho, menepuk wajah gadis itu lembut. "Kamu sudah bisa berdiri sekarang, yakin deh. Mungkin nanti kita bisa ketemu lagi membicarakan progres yang sudah terjadi."
Kalau misalnya ini sebuah buku, maka semuanya harus ada akhirnya. Tapi, hidup terus berjalan, dan begitupun dengan Eunhee--ia harus terus maju. Sekarang, bagaimana? Sungguh, dia sayang semua orang-orang yang ada di sekitarnya. Dan ketika ia harus memilih, ia memilih kebahagiaannya sendiri--apakah dia salah? Dia tidak tahu. Yang ia tahu, semua orang tentunya menginginkan kebahagiaan, dan itulah yang ia cari. Sekarang, ketika ia punya kebahagiaan kecil dalam hidupnya, ia tak mau melepaskannya; sebuah keegoisan kecil yang ingin ia pegang terus dalam hati.
Yang sudah terjadi tidak akan bisa diperbaiki, ia tahu. Tapi ia tidak ingin berhenti--meskipun mungkin gagal, meskipun mungkin nanti ada emosi yang menguasai dirinya, ia ingin mencapai kembali mereka semua satu per satu. Ia bisa berkorbankah, bisa sejauh manakah, ia belum tahu.
"Semangat, semangat." Jiho menepuk lagi wajah gadis itu. Nyengir. "Keretamu berangkat pukul setengah enam pagi, bukan? Sebaiknya kamu ke rumahmu dan menyiapkan koper yang mau kamu bawa. Nanti di Seoul ada yang jemput, nggak?"
"Cuma satu, kok. Nggak bawa oleh-oleh, juga... jadi bawaanku sedikit." Eunhee mengangguk, tersenyum. "Jangan lupa antar, omong-omong. Yah, janjinya ada yang mau menjemput, sih."
"Baiklah," Jiho meregangkan lagi lengannya, mengedikkan kepala ke kanan dan ke kiri. Memperhatikan Eunhee lagi sebentar, dan berikutnya, lelaki itu tersenyum masam. "Senyummu lebar sekali. Jadinya agak sedikit menyebalkan. Sana pulang."
Dan kali ini tawa Eunhee pecah berderai.
Ia ingin mendengar.
Untuk saat ini, ia ingin membahagiakan semuanya sebisanya--tanpa kehilangan kebahagiaannya sendiri.
Mungkin tidak ya, akan ada saatnya semua orang bertemu dan semuanya tersenyum? Seandainya bisa begitu, tentu akan menyenangkan sekali.
---
dearest all, all people -- I love you. I hold you all in my heart this much.
Dear, I love--
I'm happy. So please be happy too.
(I love you so much.)
-----end.-----
Characters: Kim Eunhee (@scarletise), Park Jiho

scattered thoughts
I want everyone to be happy. But I want to be happy too. A selfish request, isn't it?
Flat kecil itu agak berantakan--mungkin karena sisa kemarin. Tong sampah di bawah tempat cuci piring masih belum dikosongkan, ada beberapa kaleng kosong bir di dekat meja tempat sebuah televisi kecil model lama bertengger, dan ada sisa-sisa remah roti di atas karpet. Cuaca di luar sudah mulai menurun sampai beberapa derajat, meskipun belum sampai di titik nol. Tapi, memang tidak memungkinkan untuk keluar sekarang. Mereka ada di lantai dua, tapi mereka sama sekali tidak berminat untuk membuka jendela. Hanya gordennya saja yang dibuka, dan dari dalam mereka bisa melihat pemandangan langit--gelap, buram. Sebentar lagi mungkin turun salju.
Sekarang pukul 2 pagi, dan Eunhee duduk di atas karpet, tubuhnya bersandar ke satu-satunya sofa yang ada di sana; kakinya berselonjor. Tangannya memegang secangkir teh yang masih panas, yang baru ia buat sendiri di dapur--sebenarnya tidak jelas juga pembagian ruangannya seperti apa, karena toh flat itu hanya berupa apartemen satu ruangan. Semuanya bersatu di situ, ditambah satu kamar mandi.
"Nggak usah sungkan," Park Jiho duduk di sampingnya, berkomentar sambil membuka kaleng bir yang dipegangnya. "padahal kemarin kamu minum sama Seongjin. Kenapa sekarang tahu-tahu buat teh?" tanyanya, merujuk pada acara kemarin lusa.
"Karena kemarin aku sudah minum, jadi sekarang aku minum teh," Eunhee mengangkat bahu. "Kemarin siang sudah ketemu Serim-ssi dan keadaanku sudah lebih membaik. Dianjurkan ambil detoksifikasi, sih, tapi aku ingin tahu sampai mana batasku."
Pesta--kalau bisa dibilang pesta, karena mereka bertiga cuma makan dan minum sambil mengobrol ngalor-ngidul. Memang, itu juga yang membuat flat Park Jiho--tempat mereka sekarang berada--jadi agak berantakan. Bagaimana tidak? Hari pertama begitu Eunhee datang ke Daegu, Seongjin langsung menyusulnya dengan antusias, mengajak bayinya yang umurnya baru jelang tujuh bulan. Mereka makan jajanan di kota, lalu berakhir di flatnya Jiho--dia tinggal di flat sekarang, bukan rumah seperti waktu dulu; karena rumah itu sudah disegel pihak pemerintah ketika ayah Jiho yang pejabat daerah ditangkap terkait kasus penyuapan. Dan pagi harinya, suami Seongjin yang usianya lebih tua dua belas tahun itu datang sambil panik namun berakhir dengan adegan romansa a la film jaman dulu di depan pintu. Eunhee dan Jiho sampai ngakak.
Flat itu kecil, tapi cukup nyaman; dan seperti yang selalu Jiho katakan dengan bangga, flat itu ia bayar dengan penghasilannya sendiri.
Jiho terkekeh mendengar komentarnya. "Berarti kemarin itu kesempatan istimewa, dong. Sekarang sudah jarang, minum-minum begitu?"
Jawabannya berupa anggukan. "Iya, sekarang sudah lebih sedikit. Tahu tidak, bahkan sekarang aku lebih memilih minum teh oolong di kantor daripada ambil bir. Ini agak mengagetkan. Meskipun--karena kemarin aku minum lagi, mungkin besok-besok aku bakal kena sedikit serangan sakit kepala lagi." Eunhee menghirup tehnya, meletakkannya di samping tubuhnya. Hangat menjalari kerongkongan. Jadi ingat kemarin-kemarin ia menyeret Woonha menemaninya minum di studio. Woonha tadinya marah, tapi bengong begitu tahu dia malah ditawari teh.
Entahlah, mungkin--selama ini dia memutuskan minum untuk mengisi yang kosong.
"Ambil saja detoksifikasinya." kata Jiho. "Saat ini aku sudah bisa menekannya dalam batas normal. Lingkungan yang bagus itu sangat membantu, lho. Aku ngerti sih kalau yang namanya artis-artis itu nggak mungkin lepas dari kehidupan malam dan alkohol.... tapi cobalah. Ubah lingkungan. Teman nggak harus didapat dari situ, kan?"
"Mengerti, mengerti, pak konselor," Eunhee tertawa kecil, "Nanti aku ambil. Benzodiazepine sudah berhenti, kok. Kata Serim-ssi tidak usah--tapi kadang aku masih butuh aspirin kalau tahu-tahu sakit kepala... dan vivitrol. Levelku sebetulnya belum sampai harus berada di rumah sakit dan punya dokter yang harus mengawasi detak jantungku, kan. Kalau kau dulu, oppa--berapa lama, sih?"
"Lama juga. Sebagian aku jalani sambil masih menjalani wajib militer." Jiho tersenyum ke arahnya dengan lagak agak bangga, membuat Eunhee mendengus melihat polahnya. Respons yang jauh lebih positif dibandingkan Jiho beberapa tahun yang lalu. Sama-sama tertawa, tapi kali ini berbeda. "Memang agak sepi karena sendirian. Baru beberapa bulan aku sudah diputuskan pacarku. Mungkin gara-gara aku kena karma, meninggalkan seseorang sampai dia kena masalah bertahun-tahun. Bikin nyasar anak orang, istilahnya."
Eunhee terdiam. Rasanya agak aneh membincangkan hal semacam ini dengan ringan, seperti sekarang. Masa-masa yang ia lewati dengan banyak depresi dan bahkan membuat kehidupannya sempat terhambat--sekarang bisa mereka bicarakan dengan ringan. Memang masih ada yang sedikit menusuk di benaknya, tapi sekarang, perasaan itu sudah lebih baik--mungkin berangsur-angsur menghilang. Membuat beban di paru-parunya sedikit terangkat.
Kontak intens dengan Park Jiho dimulai lagi setelah dua tahun--ketika pria itu mencoba menghubunginya. Datang ke rumah dan membuat Eunhee menemuinya kembali. Karena ada sesuatu yang kosong yang minta diisi, dan ketika itu--yang ada hanya Park Jiho, yang mengulurkan tangan dan menemaninya sampai pagi--meskipun ketika itu Jiho bilang dengan jelas; pengisinya bukan dia.
Dunia berputar, ya.
"Tapi sekarang wajahmu sudah tidak kelihatan lelah dibandingkan waktu aku datang ke Seoul kemarin," Jiho berujar lagi, memecah kesunyian. "Sudah lebih tenang sekarang? Kebanyakan orang minum berlebih untuk menghindari problem, Eunhee-ya.... dan ketika kamu memutuskan untuk betul-betul berhenti sampai mantap, berarti memang ada hal yang sudah kamu putuskan."
Tersenyum tipis, Eunhee hanya mengambil tehnya lagi dan meminumnya. "Bagaimana, ya? Kau ini macam Ayahku saja--hey, Ayahku bahkan tidak pernah tanya soal itu."
Jiho terkekeh lagi. "Dia memperhatikan kamu, kok. Anggap saja aku yang menyuarakan pendapatnya dalam hati."
----
Salju turun satu per satu, awalnya sedikit, namun lama-lama mulai menderas.
"Oppa--nonton televisi?"
"Nonton."
Mereka terdiam lagi--Eunhee termenung, menatap kakinya yang ujung jarinya agak bengkok lantaran pernah cedera sewaktu latihan. Dia benar-benar nggak bisa menari, dan akibatnya, kalau sekalinya mereka mempelajari koreografi yang agak sulit, ia jadi sering terkilir. Dan waktu itu, ketika menyelesaikan koreografi yang mengharuskan pakai sepatu 12 cm, dia jatuh--kena jari kakinya yang jadi patah, dan endingnya, agak bengkok.
Dia selalu butuh bantuan dalam soal dance. Seringkali Mi-yoo mengajarinya meskipun ujungnya malah jadi main-main karena celotehan Mi-yoo yang sering ngaco, atau juga Kaya--meskipun seringnya dia cuma bisa lihat karena anak itu mah boro-boro mau mengajari.
Bersama-sama Blossom, dia sudah dua tahun. Tapi melihat yang ia lakukan, sejak ia ditunjuk menjadi leader sampai sekarang--tidak ada yang pernah ia lakukan betul-betul. Satu per satu anggota lepas dan ia tak pernah berusaha mencari. Berpikir memang iya, tapi ia tidak pernah bertindak. Terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, terlalu sibuk mencoba menangani diri sendiri dan lupa pada yang ada di sekitarnya--dan baru sadar ketika mereka semua lari. Semata-mata karena ia ingin melindungi dirinya sendiri.
Ia tidak mau sakit.
Lalu membuat orang lain sakit.
"Aku nggak percaya gosip, Hee-ya. Mereka bisa memasukkan segala bumbu ke dalam beritanya supaya seru."
Eunhee hanya tertawa kecil mendengarnya. "Kau benar. Tapi--yah, mereka nggak sepenuhnya salah, kok."
Karena di dalam perspektif dirinya sendiri, suka atau tidak, ia melakukannya. Mengambil lagi apa yang ia redam kuat-kuat. Melepaskan yang pergi dan tidak mencoba untuk mengejar. Merenggut apa yang seharusnya bukan untuknya. Hei, sudah terlalu banyak dosa yang ia lakukan--memangnya sekarang dia pantas begini?
"Nggak tahu. Aku juga nggak tahu... sumpah. Rasanya bodoh." Ia menunduk, kakinya naik dan membengkok, dan ia duduk memeluk lututnya. "Ini antara... aku memberikan kesempatan pada orang, lalu aku juga yang merenggutnya. Aku juga yang mengambilnya. Lalu.... sekarang... tanpa aku memikirkan orang-orang yang terlibat di dalamnya... aku berjalan begitu saja di atasnya."
Dan sekarang, ketika ia perlahan mendapatkannya, ia takut kebahagiaan ini hilang. Rasanya temporari.
Takut. Ia takut.
Ia takut kehilangan.
Sampai ia tak berani bertanya.
Tapi ia tidak suka kalau harus begini.
"Kamu suka?"
Pertanyaan itu membuat Eunhee menghentikan lamunannya. "Siapa?"
"Yang kamu bilang sampai membuat kamu jalan dan menginjak-injak." Jiho angkat bahu. Nyengir, karena dia tahu pasti Eunhee tidak akan menjawab. Tangannya terulur, menepuk wajah gadis itu pelan, membuat keningnya yang agak tertutupi helaian rambut berkerut. "Nggak usah dijawab juga nggak apa-apa. Ya bagus kan kalau kamu bisa berjalan lagi. Mudah-mudahan saja semua berjalan lancar... karena aku juga yang bikin kamu sampai sulit begitu. Sori."
Eunhee diam. memandang raut wajah Jiho. Membaca ekspresinya. Sejenak ada rasa berat lagi yang menghempas hatinya, namun ia menarik napas panjang, membuatnya sedikit merasa lega. Gadis itu tersenyum kecil. "Banyak hal yang terjadi, oppa." Ia berkata perlahan, "meskipun aku juga nggak begitu tahu isi kepalanya kayak apa. Sekarang pun... meskipun sepertinya aku mengenggam, rasanya seperti tidak menggenggam."
"Karena memang tidak ada yang namanya genggam-menggenggam, kau tahu," Jiho terkekeh, "menggenggam terlalu kuat hanya akan membuatnya hancur, Hee-ya. Makanya harus dilepaskan. Agar berkembang sendiri."
----
(Hei.)
(Seandainya kamu bilang tidak mau lepaskan aku. Apa mungkin aku bisa.... melepaskan kamu?)
(Apa masih boleh aku memegang tanganmu?)
(Apa kamu mau terus menggenggam tanganku?)
----
Dia tidak mungkin membiarkan keadaan sekarang mengalir terus, membiarkannya menutup telinga, bukan? Kaca itu ia injak, kaca itu mengenai orang lain, dan mungkin untuk mencapai ujungnya juga ia butuh usaha yang lebih keras lagi, atau mungkin juga orang itu akan pergi. Apa pun akhirnya ia harus siap, dan kali ini ia memutuskan untuk tidak akan membuang muka lagi. Berdiri, berjalan. Mungkin sekarang ia sendiri--tapi nanti, ia ingin sama-sama. Kalau memang bisa. Kalau memang orang itu tidak pergi.
"Tapi... sedikit egois itu bagus untuk kesehatan, kau juga yang biasanya bilang begitu." Jiho berdiri, meregangkan tubuhnya.
Eunhee jadi ingat, dia dulu begitu sering mengatakan kata-kata itu pada seseorang yang dia kenal. Setiap mereka duduk dan minum-minum sampai pagi, setiap orang itu mulai bercerita betapa beratnya untuk memilih salah satu karena ia menyayangi semuanya. Ah, Eunhee tidak pernah mengerti mengapa dia bisa kebingungan memilih. Tapi sekarang ia jadi berpikir kembali--dan sedikit demi sedikit mengerti.
Gadis itu melirik sebentar ke jam yang ada di dinding--pukul empat. Begitu cepat waktu berlalu.
"...entahlah. Aku kenal orang yang memutuskan untuk melepaskan semuanya dan akhirnya tidak mendapat apa-apa. Kadang aku ingin bertanya, apa dia bahagia? Mungkin orang lain senang, tapi dia sendiri bagaimana? Itu bukan akhir yang kuinginkan. Sekarang pun...." pandangan Eunhee menerawang, ke arah jendela yang berembun karena salju. "Sekarang pun aku bicara seperti ini... sebetulnya aku takut. Lalu aku bertanya-tanya apakah aku bisa berdiri meskipun sudah memutuskan untuk memberi--aku masih takut."
"Hee-ya.... ketika orang mulai bisa memberi, saat itulah dia bisa menerima begitu banyak--meskipun mungkin dia tidak menyadari... dan bentuknya bukan yang kamu inginkan. Tapi jangan berjalan sendiri." Jiho berkata pelan, mengisap rokoknya lama-lama, menghembuskan asapnya dalam bentuk asap putih yang tebal dan panjang. Menatap mata gadis itu. "Aku tahu itu persis. Karena seharusnya aku nggak pergi waktu itu. Tapi--aku pergi, dan ini yang kita dapatkan."
Jiho tidak pernah bilang dia mau pergi, dulu. Yang ia lakukan adalah menghilang begitu saja. Ketika Jiho sudah mulai jadi aneh dan mengalami halusinasi setiap malam, ketika Eunhee juga beberapa kali merasakan tamparan dan pukulan di tubuhnya karena Jiho yang tubuhnya mulai terhajar habis oleh obat-obatan. Dan Eunhee pun tak melakukan apa-apa. Hanya menangis sambil bertanya dan mempersalahkan. Merusak diri sendiri. Begitu juga Jiho yang pergi tanpa berkata apa pun. Tak ada yang bicara dan mencoba untuk menjelaskan. Sampai bahkan membuat Eunhee sulit untuk percaya.
Kali ini, ia ingin maju.
Eunhee tercenung.
"Yang namanya 'akhir' itu nggak ada."
----
Tetap saja, biarpun ia sudah sampai sini, rasa itu tetap ada.
Yang bilang, yang berharap, yang meminta dalam hati meskipun tidak akan dia katakan.
(Jangan
lepaskan
aku.)
Tidak--dia tidak boleh berpikir begini.
----
"Kita bakal ketemu lagi?" malah pertanyaan itu yang keluar.
"Tahun depan," kata Jiho, menepuk wajah gadis itu lembut. "Kamu sudah bisa berdiri sekarang, yakin deh. Mungkin nanti kita bisa ketemu lagi membicarakan progres yang sudah terjadi."
Kalau misalnya ini sebuah buku, maka semuanya harus ada akhirnya. Tapi, hidup terus berjalan, dan begitupun dengan Eunhee--ia harus terus maju. Sekarang, bagaimana? Sungguh, dia sayang semua orang-orang yang ada di sekitarnya. Dan ketika ia harus memilih, ia memilih kebahagiaannya sendiri--apakah dia salah? Dia tidak tahu. Yang ia tahu, semua orang tentunya menginginkan kebahagiaan, dan itulah yang ia cari. Sekarang, ketika ia punya kebahagiaan kecil dalam hidupnya, ia tak mau melepaskannya; sebuah keegoisan kecil yang ingin ia pegang terus dalam hati.
Yang sudah terjadi tidak akan bisa diperbaiki, ia tahu. Tapi ia tidak ingin berhenti--meskipun mungkin gagal, meskipun mungkin nanti ada emosi yang menguasai dirinya, ia ingin mencapai kembali mereka semua satu per satu. Ia bisa berkorbankah, bisa sejauh manakah, ia belum tahu.
"Semangat, semangat." Jiho menepuk lagi wajah gadis itu. Nyengir. "Keretamu berangkat pukul setengah enam pagi, bukan? Sebaiknya kamu ke rumahmu dan menyiapkan koper yang mau kamu bawa. Nanti di Seoul ada yang jemput, nggak?"
"Cuma satu, kok. Nggak bawa oleh-oleh, juga... jadi bawaanku sedikit." Eunhee mengangguk, tersenyum. "Jangan lupa antar, omong-omong. Yah, janjinya ada yang mau menjemput, sih."
"Baiklah," Jiho meregangkan lagi lengannya, mengedikkan kepala ke kanan dan ke kiri. Memperhatikan Eunhee lagi sebentar, dan berikutnya, lelaki itu tersenyum masam. "Senyummu lebar sekali. Jadinya agak sedikit menyebalkan. Sana pulang."
Dan kali ini tawa Eunhee pecah berderai.
Ia ingin mendengar.
Untuk saat ini, ia ingin membahagiakan semuanya sebisanya--tanpa kehilangan kebahagiaannya sendiri.
Mungkin tidak ya, akan ada saatnya semua orang bertemu dan semuanya tersenyum? Seandainya bisa begitu, tentu akan menyenangkan sekali.
---
dearest all, all people -- I love you. I hold you all in my heart this much.
Dear, I love--
I'm happy. So please be happy too.
(I love you so much.)
-----end.-----