The Aftermath
Jul. 28th, 2015 04:52 pm![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
Based on: Winterblossom Entertainment Roleplay
Characters: Kim Eunhee (blackpapillon), Tsugihara Shin (Rere Aozora)

the aftermath
"can I sit here?"
"Duduk di sini, boleh?"
"Boleh," kepala itu tidak muncul sama sekali dari balik layar monitornya--dan keadaan di sekelilingnya juga tidak membantu. Tumpukan kertas, buku-buku tebal yang Eunhee bahkan tidak dapat membaca apa judulnya, semua berserakan di atas meja. Dibilang 'berserakan' karena kalau memakai istilah 'bertumpuk' sama sekali tidak tepat untuk kenyataannya.
Diizinkan duduk, Eunhee akhirnya memutuskan untuk duduk di sebuah sofa panjang dekat meja belajar itu. Tidak ada suara musik apa pun, hanya deru halus dari penghangat ruangan dan bunyi jari yang mengetik. Merasa tidak nyaman dengan sepi yang keterlaluan, ia mengeluarkan ipod-nya dari dalam saku. Menyampirkan earphone-nya begitu saja di dekat telinga dengan volume maksimum. Lagu Nirvana berdentum keras dari sana.
Matanya kembali mengawasi si pemilik ruangan yang masih asyik dengan tumpukan laporan-laporan--"calon tesis" "yang akan bermanfaat bagi dunia medis" "--dapat mengurangi blablabla persen blablabla". Yang jelas ia tidak mengerti. Percuma, level pendidikannya yang hanya lulusan SMA mana nyambung dengan S2.
"Nggak makan?"
"Hm. Nanti saja, deh."
Gorden merah yang menutup jendela masih menyisakan cahaya yang menembus ke luar, memberikan cahaya redup. Papan nama bergantung tertiup angin, dan dari luar, restoran mungil tempatnya berada sekarang itu seperti rumah kue jahe di atas salju. Dan di dalam satu ruangan yang ada di sana, mereka duduk berseberangan.
Dan ia juga tidak mengerti mengapa bisa berakhir di sini.
*
Dengan alasan sakit, meskipun Woonha marah-marah seharian karena dia jadi bolos kelas vokal hari ini, akhirnya Eunhee bisa melewatkan seharian di dorm. Di pagi hari kepalanya berdeyut habis-habisan--Hangover kelas kakap; dan ia lupa-lupa ingat mengapa tahu-tahu dia bisa ada di rumah. Ya, nggak mungkin pakai karpet ajaib Aladin, kan.
Baru sadar ketika ia membaca pesan dari Maestro yang menginformasikan di mana kunci mobilnya ditaruh. Rasanya malu sekali--karena setahunya, Maestro bukan pengunjung tempat-tempat semacam itu, yang berarti ia sudah membuat seniornya itu kerepotan dan harus bolak-balik. Semua ini gara-gara telepon setengah sadar yang ia tujukan kepada entah siapa, dan jackpotnya mengarah ke Maestro. Dan kepalanya jadi ingat lagi.
Tempat-tempat semacam itu.
Kalau misalnya Tuhan tiba-tiba muncul di hadapannya dan bertanya apa yang dia mau saat ini, kalau boleh dia ingin sekali menghapus kata-katanya kemarin malam. Kalau perlu tolong bilas pakai deterjen. Dia tidak ingat sepenuhnya apa yang ia katakan, namun ia ingat beberapa kata-kata penting.
Jangan sebut sebut. Eunhee merutuk dalam hati, jari-jarinya membetulkan rambutnya dengan gelisah, dan ia duduk di sana, memeluk lutut. Sudah selesai, kan. Dia sudah selesai. Namun matanya sepertinya menolak menutup pintu dan mencari celah baru. Fakta-fakta yang ia buat untuk menahan dirinya sendiri sepertinya begitu mudah hancur dan membuatnya berharap lagi.
Tapi dia sendiri juga tidak mau rugi, ia tahu. Sebaris tuntutan yang ia ucapkan untuk lelaki itu juga belum tentu ia penuhi sendiri, ia pun tahu. Otaknya masih berfungsi dengan baik; ia tahu persis. Dan sekarang juga ia mewanti-wanti bahwa dia harus berhenti, namun ia tidak yakin apa ia akan mengatakan hal yang sama kalau sudah bertemu muka.
Dan dia tidak suka itu--dia tidak suka perasaan kalah itu.
(Kalah? Perumpamaan yang aneh.)
(Brengsek brengsek brengsek brengsek brengsek.)
Gadis itu menggigiti bibirnya sampai terasa bengkak. Si pemilik ruangan menghentikan pekerjaannya sebentar, namun tidak berkomentar apa-apa.
Sedetik kemudian suara papan ketik dan jari yang beradu kembali memenuhi ruangan.
*
"Maaf, ya," akhirnya sosok itu muncul dari layar komputer, kantong matanya terlihat samar-samar di balik lensa berbingkai hitam. "Sekarang sedang ada deadline, sih. Jadi aku harus menyelesaikan ini malam ini juga."
"Tidak apa-apa, kok. Lagipula aku yang tahu-tahu mampir, kan. Lanjutkan saja pekerjaanmu." Eunhee menyandarkan tubuhnya di sofa--melirik jam. Perutnya lapar. Baru ingat, dia tadi belum makan. "Ah. Kau juga belum makan." Ia berkomentar.
Lelaki itu manggut-manggut. Sejenak kemudian ia berhenti mengetik. "Kamu masak saja.... meskipun ini restoran, karena chefnya sudah pulang, jadi ya sistemnya self service."
"Wah." Eunhee angkat bahu, "Lanjutan yang kemarin, ya? Nyuruh saja."
"Bukan, ini 'kan namanya opsi." sahut orang itu, kembali berkutat dengan data-data di hadapan. "Kau bisa buatkan aku juga."
"Count your luck."
"I'm a lucky person, then."
.
.
Segaris senyum muncul di bibir Eunhee. "Tapi jangan protes, ya," ia bangkit dari kursi, berjalan ke arah dapur dan mulai mencari-cari apa yang kira-kira bisa ia manfaatkan. "Aku masih pemula dalam hal memasak kalau dibandingkan dengan Aki."
*
terima kasih untuk tidak bertanya.
Characters: Kim Eunhee (blackpapillon), Tsugihara Shin (Rere Aozora)

the aftermath
"can I sit here?"
"Duduk di sini, boleh?"
"Boleh," kepala itu tidak muncul sama sekali dari balik layar monitornya--dan keadaan di sekelilingnya juga tidak membantu. Tumpukan kertas, buku-buku tebal yang Eunhee bahkan tidak dapat membaca apa judulnya, semua berserakan di atas meja. Dibilang 'berserakan' karena kalau memakai istilah 'bertumpuk' sama sekali tidak tepat untuk kenyataannya.
Diizinkan duduk, Eunhee akhirnya memutuskan untuk duduk di sebuah sofa panjang dekat meja belajar itu. Tidak ada suara musik apa pun, hanya deru halus dari penghangat ruangan dan bunyi jari yang mengetik. Merasa tidak nyaman dengan sepi yang keterlaluan, ia mengeluarkan ipod-nya dari dalam saku. Menyampirkan earphone-nya begitu saja di dekat telinga dengan volume maksimum. Lagu Nirvana berdentum keras dari sana.
Matanya kembali mengawasi si pemilik ruangan yang masih asyik dengan tumpukan laporan-laporan--"calon tesis" "yang akan bermanfaat bagi dunia medis" "--dapat mengurangi blablabla persen blablabla". Yang jelas ia tidak mengerti. Percuma, level pendidikannya yang hanya lulusan SMA mana nyambung dengan S2.
"Nggak makan?"
"Hm. Nanti saja, deh."
Gorden merah yang menutup jendela masih menyisakan cahaya yang menembus ke luar, memberikan cahaya redup. Papan nama bergantung tertiup angin, dan dari luar, restoran mungil tempatnya berada sekarang itu seperti rumah kue jahe di atas salju. Dan di dalam satu ruangan yang ada di sana, mereka duduk berseberangan.
Dan ia juga tidak mengerti mengapa bisa berakhir di sini.
*
Dengan alasan sakit, meskipun Woonha marah-marah seharian karena dia jadi bolos kelas vokal hari ini, akhirnya Eunhee bisa melewatkan seharian di dorm. Di pagi hari kepalanya berdeyut habis-habisan--Hangover kelas kakap; dan ia lupa-lupa ingat mengapa tahu-tahu dia bisa ada di rumah. Ya, nggak mungkin pakai karpet ajaib Aladin, kan.
Baru sadar ketika ia membaca pesan dari Maestro yang menginformasikan di mana kunci mobilnya ditaruh. Rasanya malu sekali--karena setahunya, Maestro bukan pengunjung tempat-tempat semacam itu, yang berarti ia sudah membuat seniornya itu kerepotan dan harus bolak-balik. Semua ini gara-gara telepon setengah sadar yang ia tujukan kepada entah siapa, dan jackpotnya mengarah ke Maestro. Dan kepalanya jadi ingat lagi.
Tempat-tempat semacam itu.
Kalau misalnya Tuhan tiba-tiba muncul di hadapannya dan bertanya apa yang dia mau saat ini, kalau boleh dia ingin sekali menghapus kata-katanya kemarin malam. Kalau perlu tolong bilas pakai deterjen. Dia tidak ingat sepenuhnya apa yang ia katakan, namun ia ingat beberapa kata-kata penting.
Jangan sebut sebut. Eunhee merutuk dalam hati, jari-jarinya membetulkan rambutnya dengan gelisah, dan ia duduk di sana, memeluk lutut. Sudah selesai, kan. Dia sudah selesai. Namun matanya sepertinya menolak menutup pintu dan mencari celah baru. Fakta-fakta yang ia buat untuk menahan dirinya sendiri sepertinya begitu mudah hancur dan membuatnya berharap lagi.
Tapi dia sendiri juga tidak mau rugi, ia tahu. Sebaris tuntutan yang ia ucapkan untuk lelaki itu juga belum tentu ia penuhi sendiri, ia pun tahu. Otaknya masih berfungsi dengan baik; ia tahu persis. Dan sekarang juga ia mewanti-wanti bahwa dia harus berhenti, namun ia tidak yakin apa ia akan mengatakan hal yang sama kalau sudah bertemu muka.
Dan dia tidak suka itu--dia tidak suka perasaan kalah itu.
(Kalah? Perumpamaan yang aneh.)
(Brengsek brengsek brengsek brengsek brengsek.)
Gadis itu menggigiti bibirnya sampai terasa bengkak. Si pemilik ruangan menghentikan pekerjaannya sebentar, namun tidak berkomentar apa-apa.
Sedetik kemudian suara papan ketik dan jari yang beradu kembali memenuhi ruangan.
*
"Maaf, ya," akhirnya sosok itu muncul dari layar komputer, kantong matanya terlihat samar-samar di balik lensa berbingkai hitam. "Sekarang sedang ada deadline, sih. Jadi aku harus menyelesaikan ini malam ini juga."
"Tidak apa-apa, kok. Lagipula aku yang tahu-tahu mampir, kan. Lanjutkan saja pekerjaanmu." Eunhee menyandarkan tubuhnya di sofa--melirik jam. Perutnya lapar. Baru ingat, dia tadi belum makan. "Ah. Kau juga belum makan." Ia berkomentar.
Lelaki itu manggut-manggut. Sejenak kemudian ia berhenti mengetik. "Kamu masak saja.... meskipun ini restoran, karena chefnya sudah pulang, jadi ya sistemnya self service."
"Wah." Eunhee angkat bahu, "Lanjutan yang kemarin, ya? Nyuruh saja."
"Bukan, ini 'kan namanya opsi." sahut orang itu, kembali berkutat dengan data-data di hadapan. "Kau bisa buatkan aku juga."
"Count your luck."
"I'm a lucky person, then."
.
.
Segaris senyum muncul di bibir Eunhee. "Tapi jangan protes, ya," ia bangkit dari kursi, berjalan ke arah dapur dan mulai mencari-cari apa yang kira-kira bisa ia manfaatkan. "Aku masih pemula dalam hal memasak kalau dibandingkan dengan Aki."
*
terima kasih untuk tidak bertanya.